Seiring bertambah dewasanya saya (ceileh), saya pun pindah ke rumah yang lebih kecil sendirian. Keluarga saya juga sudah hidup masing-masing menikmati masa tua. Jadilah saya yang terbiasa punya banyak barang mendadak harus downsizing semua harta benda yang saya miliki. Lucunya, jauh sebelum tinggal dirumah, saya tinggal di sebuah kamar asrama berukuran 3x1,8m yang sempitnya alamakjang. Waktu saya pindah ke rumah dari asrama, ternyata bawaan saya sekitar 12 kardus berukuran sedang.
Bicara soal pak suami? dia sih lebih parah lagi. Tumpukan resep, katalog, dan sampel obat untuk hewan dimana-mana. Belom sisa-sisa rekam medik pasien pribadinya. Kadang kalau lagi beres-beres, saya suka sebel melihat goodie bag produk hewan yang berceceran dimana-mana.
Nah belakangan, saya sering liat teman-teman saya posting di sosmed soal memulai minimalist living lagi di Indonesia--
and I jumped right back into the Bandwagon, simply because I have to many stuff and I (deep down) really want to get rid of them.
Setelah
kepo riset secara ekstensif di sosial media, ternyata sekarang di Jepang dan US lagi ngetrend banget si
minimalist living ini. Apa sih
minimalist living itu? artinya kita hanya memiliki benda-benda yang kita butuhkan--bukan benda-benda yang sekadar memenuhi rumah kita. Bahkan minimalist living ini gak cuma sekadar masalah benda-benda yang kita miliki, tapi juga soal
declutter jadwal dan sampah digital kita juga lho!
Pernah ngga sih kamu merasa sebal melihat baju-bajumu, atau bosan melihat koleksi make-up mu yang itu-itu saja? Nah itu yang saya rasakan sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemeja flanel yang saya sukai di awal kuliah S1 itu sudah nggak menarik lagi, t-shirt band indie yang saya puja jaman SMA juga sudah berubah fungsi jadi baju tidur.
And like it or not, I bet you have the same thing!
Kalo bisa dibilang, saya juga belum bisa 100% meminimalisasi benda-benda dirumah sih. Contoh yang paling kongkrit adalah soal piring-piring dan gelas-gelas. Selama ini sih saya mikirnya mau jaga-jaga kalau suatu hari ada tamu banyak atau disuruh pinjemin piring untuk kendurian tetangga. Jadi sebenarnya masih banyak juga
clutter alias benda-benda yang sebenarnya gak benar-benar saya butuhkan.
Ini juga sih yang membuat saya masih sulit untuk memulai
minimalist living di Indonesia. Untuk yang tinggal di kota boleh lah ya cuma punya 1-2 piring untuk diri sendiri, tapi kalau masih tinggal di kampung kayak saya ini? Mana bisaaaaa.... bisa-bisa dibilang sombong kalau ngga mau pinjemin piring pas acara-acara desa.
Belum lagi tuntutan "satu baju gak boleh dipake dua kali". Duh jujur deh, ini tuntutan sosial yang paling ngga masuk diakal buat saya, tapi apa daya, kalau misalnya saya keliatan terlalu sering memakai satu
outfit (yang menurut saya sudah kece badai cetar halilintar) nanti bisa-bisa tetangga-tetangga komentar "duh istrinya pak dokter masa bajunya itu-itu aja"--kan bete, karena pak suami dibawa-bawa.
Padahal ya, yang namanya Marie Kondo itu juga bajunya cuma beberapa aja. Kalau misalnya saya mau simpen 1-5 baju yang itu-itu aja, sisanya saya jual setelah 2-3 kali pakai kok rasanya sayang betul. Belum baju
preloved biasanya harganya jatuh.
Just saying, saya juga bukan tipikal yang rajin beli baju kok, tapi kalau beli baju untuk 1-2
occasion aja rasanya sayang-sayang uang betul. Tapi sekali lagi ya, saya pun menyerah pada lingkungan sosial *kemudian mengangkat tangan dan melambaikan kepada kamera*.
Jadi sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk memulai
minimalist living di Indonesia? Simpel, kita butuh mental dan keberanian. Keberanian untuk mendekap dompet erat-erat di musim sale dan lipen yang kita inginkan harganya mursida luar biasa dan mental untuk siap dicerca karena "gak punya apa-apa". Keberanian untuk bilang bahwa kita ngga perlu empat teko dengan warna yang berbeda, satu untuk teh, satu untuk kopi, satu untuk air dan satu lagi untuk sirup karena kita khawatir kalau dicampur-campur nanti rasa minumannya juga ikut kecampur. Keberanian untuk bilang ke pak suami kalau dia punya jatah 1 kardus saja untuk semua printilan non-fungsional yang ia bawa pulang dari kantor.
Terus kalau udah punya mentalnya? Gimana?
YA BERES-BERES DONG! *emosi*
Kalau kita sudah yakin bakal memulai
minimalist living, kita perlu banget menyiapkan target untuk beres-beres, dan kita bisa membagi proses beres-beres yang heboh itu menjadi beberapa bagian, misalnya, minggu ini kita akan beres-beres baju, minggu depan beres-beres buku, dan seterusnya, dan semuanya akan selesai dalam lima minggu. Percaya deh, memenuhi target ini berat banget, makanya sebelum saya beres-beres saya sempat berkali-kali membaca ulang bukunya Marie Kondo supaya paham teknik membereskan rumah yang efektif.
Tapi kalau setelah saya resapi nih ya, satu-satunya teknik yang kamu butuhkan adalah niat dan fokus. Kalau kita mencoba beres-beres dalam posisi pikiran kemana-mana ya hasilnya bakal kemana-mana. Misalnya kalau kita beresin baju sambil mikirin makanan, ya ujung-ujungnya lari deh kita ke dapur dan beres-beresnya gak jadi dilanjutin. Kelar makan, eh udah keburu males, dan begitu seterusnya.
Dan jujur, proses beres-beres paling berat untuk saya itu ada di bagian
miscellaneous junk yang penuh memori. Susah ya, membuang benda-benda pemberian dari mantan
dan mantan teman-teman yang emang sudah tidak kita butuhkan lagi (sambil duduk memangku parfum harga sekian juta yang sekarang sudah nggak pernah saya pakai) belum lagi kalau ada nilai sentimentil dari benda-benda tersebut. Hmmm.. makin jadi lah sulitnya. Belum kalau suatu saat mereka dateng terus nanya "eh *insert_nama_hadiah* dari gue mana??" tengsin betul deh.
Ya sebenarnya sih, kalau kita mikirnya 'nantinya', 'nantinya', dan 'nantinya' ya gak jadi-jadilah kita hidup minimalis. Makanya kita benar-benar harus menekankan
mindset untuk bersih-bersih dalam kehidupan yang seutuhnya. Jadinya, meskipun furnitur dan printilan kita dirumah sudah minimalis tapi hati kita masih maksimalis.
Selepas beres-beres rumah, hal terpenting kedua adalah membereskan hati kita. Pernah ngga sih kita merasa hidup kita terlalu padat dan dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan HANYA UNTUK EKSISTENSI?
Well, saya selalu menekankan pada diri saya,
busy is not always equal productive, sibuk tidak selalu sama dengan produktif. Ini penting banget. Setiap saya melihat jadwal saya, saya bisa mengatakan saya orang yang sibuk, tapi saya juga ngga bisa bilang saya orang yang produktif. Kesibukan apa sih yang bisa saya
cut dari hidup saya?
Ternyata setelah saya melakukan re-evaluasi terhadap kalender, banyak kok kesibukan yang bisa saya potong dari hidup saya. Contoh utamanya adalah nggosip dengan tetangga selepas sore hari, atau pergi ke arisan-arisan yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Saya juga bisa memotong waktu saya didepan laptop dan bekerja. Saya masih bisa meluangkan waktu 10 menit untuk bermeditasi setiap harinya.
And it's actually good for my soul.
Tapi saya juga paham, tidak semua orang bisa seperti ini, khususnya ibu-ibu yang sedang mengasuh anak balitanya. Setiap hari pasti
full dengan jadwal bersama anak. Yang ingin saya tekankan adalah, semua orang perlu
me-time. Yang bisa mengukur seberapa produktif kita, ya kita sendiri. Bukan orang lain. Mungkin bagi saya, produktif itu berarti bisa menyelesaikan puluhan
task dalam sehari, sedangkan bagi ibu-ibu yang lain, produktif itu berarti bisa menghabiskan 12 jam bersama anak tanpa gangguan yang berarti. Sah-sah aja kok.
Karena
minimalist living itu kan sebenarnya meminimalisir 'gangguan-gangguan' dari hidup kita supaya kita lebih happy dan lebih ceria. Jadi ini bukan hanya sekedar furnitur atau kalender, tapi juga bersih-bersih hati dan pikiran, gitu ibu-ibu.
Kalau soal tetangga, orang-orang di kiri dan di kanan, saya juga tidak mampu untuk bilang kita harus nyuekin mereka, karena di lingkungan saya pun jelas saya tidak bisa melakukannya. Tapi kalau kita bisa menjelaskan pelan-pelan kenapa kita 'berubah',
maybe they'll came along too, who knows? gak ada yang tau kalau misalnya kita malah bisa menginspirasi mereka.
Jadi kapan kita mau mulai? Yuk saling support untuk memulai
minimalist living sekarang!