• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.

    Review Pulang (2020) / Affliction (2020)Kalau kalian mengikuti wattpad saya, pasti tau dong kalo saya tergila-gila sama horor psikologis? Jadi pas tahu Teddy Soeriatmadja bikin film horror psikologis berjudul Pulang--atau judul bahasa inggrisnya Affliction, saya langsung tertarik banget untuk nonton. 

    Secara Badai Pasti Berlalu garapan Teddy Soeriatmadja sempet bikin saya cukup terhemek-hemek, saya jadi kepo, apakah Teddy Soeriatmadja bakal se-OP itu kalo bikin film Horror? 

    Apalagi ini film di rave banget sama kebanyakan reviewer di Twitter karena konon minim jumpscare, bagus banget, mainin mood dan psikologis banget. Langsung saja saya hajar menonton film ini di Netflix. 

    disclaimer: Review ini mengandung Spoiler garis keras! Jangan baca kalau kalian belum nonton filmnya

    Plot Pulang/Affliction (2020)


    Premisnya simple, bercerita soal sepasang suami istri, Nina dan Hasan yang punya personality yang sangat berbeda. Nina yang baru saja kehilangan Ibunya, kedatangan seorang wanita dari kampung Hasan yang mengaku bahwa ia yang merawat Bundanya Hasan selama ini di Kampung. 

    Bundanya Hasan memang hidup sendirian dan punya penyakit Alzheimer yang menyebabkan Nina jadi khawatir. Muncullah wacana untuk memboyong Bundanya Hasan ke Jakarta. Masalahnya, Hasan dan ibunya seolah-olah estranged dan Hasan juga keberatan buat pulang. 

    Nina yang baru kehilangan Ibunya jadi ngotot harus pulang ke Hasan. Akhirnya Hasan dengan reluctant mengiyakan kemauan Nina. Baru sampe ke rumah Bunda, kita langsung disuguhi adegan Bunda mengendap-endap megang pisau sambil mendengar suara-suara yang gak jelas. 

    Latar belakang Bunda yang misterius dan Nina yang keponya maksimal bener-bener sukses bikin penonton jadi serius pengen tahu kenapa Bunda bisa sampe Alzheimer, kenapa perilakunya seperti itu dan ada rahasia apa di rumah itu sampai Bunda nggak bisa meninggalkan rumah tersebut. 

    Pelan-pelan kita dipaksa untuk mengikuti kisah Nina yang ((bertualang)) di rumah Bunda untuk mencari tahu soal rahasia masa lalu Bunda. 

    Tetap Rawan Plothole

    Walau sebenernya film ini punya premise yang bagus, ada banyak hal yang membuat saya kurang nyaman selama menonton film ini. 

    Yang pertama adalah karakter Ibnu Jamil/Hasan yang dicitrakan distant, workaholic, dan lain-lain. Hasan ini ceritanya adalah seorang psikolog anak. Tapi sepanjang film, kita cuma liat Hasan yang asshole bukan Hasan yang distant. 

    Beda ye, orang workaholic sama orang yang berengsek gatau waktu dan tempat. 

    Walhasil meski Hasan adalah salah satu karakter kunci dalam cerita ini, akting Ibnu Jamil jadi kerasa sinetron dan cheesy banget--apalagi ketika disandingkan dengan akting Raihaanun/Nina--yang meski kadang keponya berlebih dan nggak perlu, tapi tetap berasa emosinya. 

    Yang membuat saya kurang nyaman lagi adalah, film ini terasa ingin menduplikasi pola cerita Hereditary dimana idenya adalah hadirnya sebuah keluarga yang distressed, delusional, hingga kita nggak tahu mana yang realitas dan mana yang bukan. Sayangnya eksekusi cerita ini belum dapat memberikan slow paced horror yang diberikan oleh Hereditary. Mungkin karena setting latar ceritanya yang kurang memberikan kesan remote kepada kita semua. 

    Banyak yang bilang film ini mirip dengan Relic. Saya sendiri sudah menonton Relic dan fokus Relic kepada metafora penyakit Alzheimer dan Dementia sebenarnya 'gila' dan horror banget. Sayangnya Pulang terkesan menyuapi penontonnya, jadi penonton juga kurang bisa menyelami karakter Bunda dan penyakitnya. Bahkan fokus disini lebih banyak ke kemampuan Nina untuk ((melihat setan)) daripada ke penyakit Bunda dan penyebabnya

    Karakter anak-anak Nina sendiri terasa seperti tempelan belaka karena fokus tetap ada pada Nina dan Bunda. Padahal jika karakter anak-anak ini bisa digali lebih dalam, saya yakin Pulang bisa menjadi film yang benar-benar luar biasa. Malah ada banyak scene yang terkesan "dilambat-lambatkan" seperti adegan anaknya Nina hilang, adegan ngompol, dan lain sebagainya. 

    Rasa ngeri yang harusnya lahir dari kesan terisolasi pada film-film slow paced horror juga mendadak hilang di third act film ini. Kisah soal masa lalu Hasan dan Bunda juga tidak memberikan kengerian yang berarti. Disini saya cukup kecewa dengan adegan-adegan yang sifatnya flashback karena menurut saya akan jauh lebih seram ketika Nina yang menyusun potongan puzzlenya sendiri. 

    Mungkin karena durasi juga ya, jadi rasa horror dari Pulang kurang nempel di benak saya. typically, film-film Slow-Paced Horror seperti Pulang memang membutuhkan durasi yang panjang sedangkan Pulang sendiri memang bukan film yang panjang

    All in All...

    Teddy Soeriatmadja berusaha banget untuk bisa appeal ke penonton mainstream yang suka dengan genre horror-flicks, sayangnya usaha ini malah membuat filmnya jadi nanggung. Di sisi lain, film ini terlalu slow untuk mainstream horror indonesia, namun juga terlalu easy untuk para veteran penikmat Horror

    Namun tidak tepat juga kalau dibilang film ini tidak bagus. Justru sebaliknya, Pulang menjadi salah satu film horror yang cukup berkesan meskipun endingnya masih terasa stale di lidah. Menurut saya jika cerita hehantuan disini dikurangi malah akan lebih creepy. Belum lagi interaksi keluarga Bunda yang sebenarnya bagus banget jika diulik lebih dalam. 

    Akting Raihanun dan Bunda di film ini harus diacungi empat jempol, karena penggalian karakternya dapet banget. Nina dan Bunda adalah kombo laknat yang bisa bikin kita merasa tidak nyaman saat menonton interaksi mereka. Disisi lain akting Ibnu Jamil jadi berasa kurang dapat mengimbangi, entah karena dialog-dialog yang terasa cetek atau memang konsep detached ini sama sekali nggak didapat oleh karakter Hasan. 

    Tapi serius, interaksi Nina + Bunda berhasil memberikan rasa tidak nyaman yang luar biasa bagi saya, ketakutan sekaligus rasa penasaran Nina berasa real dan meyakinkan. Andai saja film ini bisa menggali lebih banyak interaksi antara Nina dan Bunda, saya yakin Pulang akan menjadi salah satu film horror yang nge-set Benchmark untuk film-film horror lainnya. 

    Affliction bisa kalian tonton di Netflix


    . Minggu, 28 Februari 2021 .

    [REVIEW] Affliction / Pulang (2020) Movie

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69
    . Minggu, 28 Februari 2021 .

    Review Pulang (2020) / Affliction (2020)Kalau kalian mengikuti wattpad saya, pasti tau dong kalo saya tergila-gila sama horor psikologis? Jadi pas tahu Teddy Soeriatmadja bikin film horror psikologis berjudul Pulang--atau judul bahasa inggrisnya Affliction, saya langsung tertarik banget untuk nonton. 

    Secara Badai Pasti Berlalu garapan Teddy Soeriatmadja sempet bikin saya cukup terhemek-hemek, saya jadi kepo, apakah Teddy Soeriatmadja bakal se-OP itu kalo bikin film Horror? 

    Apalagi ini film di rave banget sama kebanyakan reviewer di Twitter karena konon minim jumpscare, bagus banget, mainin mood dan psikologis banget. Langsung saja saya hajar menonton film ini di Netflix. 

    disclaimer: Review ini mengandung Spoiler garis keras! Jangan baca kalau kalian belum nonton filmnya

    Plot Pulang/Affliction (2020)


    Premisnya simple, bercerita soal sepasang suami istri, Nina dan Hasan yang punya personality yang sangat berbeda. Nina yang baru saja kehilangan Ibunya, kedatangan seorang wanita dari kampung Hasan yang mengaku bahwa ia yang merawat Bundanya Hasan selama ini di Kampung. 

    Bundanya Hasan memang hidup sendirian dan punya penyakit Alzheimer yang menyebabkan Nina jadi khawatir. Muncullah wacana untuk memboyong Bundanya Hasan ke Jakarta. Masalahnya, Hasan dan ibunya seolah-olah estranged dan Hasan juga keberatan buat pulang. 

    Nina yang baru kehilangan Ibunya jadi ngotot harus pulang ke Hasan. Akhirnya Hasan dengan reluctant mengiyakan kemauan Nina. Baru sampe ke rumah Bunda, kita langsung disuguhi adegan Bunda mengendap-endap megang pisau sambil mendengar suara-suara yang gak jelas. 

    Latar belakang Bunda yang misterius dan Nina yang keponya maksimal bener-bener sukses bikin penonton jadi serius pengen tahu kenapa Bunda bisa sampe Alzheimer, kenapa perilakunya seperti itu dan ada rahasia apa di rumah itu sampai Bunda nggak bisa meninggalkan rumah tersebut. 

    Pelan-pelan kita dipaksa untuk mengikuti kisah Nina yang ((bertualang)) di rumah Bunda untuk mencari tahu soal rahasia masa lalu Bunda. 

    Tetap Rawan Plothole

    Walau sebenernya film ini punya premise yang bagus, ada banyak hal yang membuat saya kurang nyaman selama menonton film ini. 

    Yang pertama adalah karakter Ibnu Jamil/Hasan yang dicitrakan distant, workaholic, dan lain-lain. Hasan ini ceritanya adalah seorang psikolog anak. Tapi sepanjang film, kita cuma liat Hasan yang asshole bukan Hasan yang distant. 

    Beda ye, orang workaholic sama orang yang berengsek gatau waktu dan tempat. 

    Walhasil meski Hasan adalah salah satu karakter kunci dalam cerita ini, akting Ibnu Jamil jadi kerasa sinetron dan cheesy banget--apalagi ketika disandingkan dengan akting Raihaanun/Nina--yang meski kadang keponya berlebih dan nggak perlu, tapi tetap berasa emosinya. 

    Yang membuat saya kurang nyaman lagi adalah, film ini terasa ingin menduplikasi pola cerita Hereditary dimana idenya adalah hadirnya sebuah keluarga yang distressed, delusional, hingga kita nggak tahu mana yang realitas dan mana yang bukan. Sayangnya eksekusi cerita ini belum dapat memberikan slow paced horror yang diberikan oleh Hereditary. Mungkin karena setting latar ceritanya yang kurang memberikan kesan remote kepada kita semua. 

    Banyak yang bilang film ini mirip dengan Relic. Saya sendiri sudah menonton Relic dan fokus Relic kepada metafora penyakit Alzheimer dan Dementia sebenarnya 'gila' dan horror banget. Sayangnya Pulang terkesan menyuapi penontonnya, jadi penonton juga kurang bisa menyelami karakter Bunda dan penyakitnya. Bahkan fokus disini lebih banyak ke kemampuan Nina untuk ((melihat setan)) daripada ke penyakit Bunda dan penyebabnya

    Karakter anak-anak Nina sendiri terasa seperti tempelan belaka karena fokus tetap ada pada Nina dan Bunda. Padahal jika karakter anak-anak ini bisa digali lebih dalam, saya yakin Pulang bisa menjadi film yang benar-benar luar biasa. Malah ada banyak scene yang terkesan "dilambat-lambatkan" seperti adegan anaknya Nina hilang, adegan ngompol, dan lain sebagainya. 

    Rasa ngeri yang harusnya lahir dari kesan terisolasi pada film-film slow paced horror juga mendadak hilang di third act film ini. Kisah soal masa lalu Hasan dan Bunda juga tidak memberikan kengerian yang berarti. Disini saya cukup kecewa dengan adegan-adegan yang sifatnya flashback karena menurut saya akan jauh lebih seram ketika Nina yang menyusun potongan puzzlenya sendiri. 

    Mungkin karena durasi juga ya, jadi rasa horror dari Pulang kurang nempel di benak saya. typically, film-film Slow-Paced Horror seperti Pulang memang membutuhkan durasi yang panjang sedangkan Pulang sendiri memang bukan film yang panjang

    All in All...

    Teddy Soeriatmadja berusaha banget untuk bisa appeal ke penonton mainstream yang suka dengan genre horror-flicks, sayangnya usaha ini malah membuat filmnya jadi nanggung. Di sisi lain, film ini terlalu slow untuk mainstream horror indonesia, namun juga terlalu easy untuk para veteran penikmat Horror

    Namun tidak tepat juga kalau dibilang film ini tidak bagus. Justru sebaliknya, Pulang menjadi salah satu film horror yang cukup berkesan meskipun endingnya masih terasa stale di lidah. Menurut saya jika cerita hehantuan disini dikurangi malah akan lebih creepy. Belum lagi interaksi keluarga Bunda yang sebenarnya bagus banget jika diulik lebih dalam. 

    Akting Raihanun dan Bunda di film ini harus diacungi empat jempol, karena penggalian karakternya dapet banget. Nina dan Bunda adalah kombo laknat yang bisa bikin kita merasa tidak nyaman saat menonton interaksi mereka. Disisi lain akting Ibnu Jamil jadi berasa kurang dapat mengimbangi, entah karena dialog-dialog yang terasa cetek atau memang konsep detached ini sama sekali nggak didapat oleh karakter Hasan. 

    Tapi serius, interaksi Nina + Bunda berhasil memberikan rasa tidak nyaman yang luar biasa bagi saya, ketakutan sekaligus rasa penasaran Nina berasa real dan meyakinkan. Andai saja film ini bisa menggali lebih banyak interaksi antara Nina dan Bunda, saya yakin Pulang akan menjadi salah satu film horror yang nge-set Benchmark untuk film-film horror lainnya. 

    Affliction bisa kalian tonton di Netflix


    . Minggu, 21 Februari 2021 .

    Review Serial Thailand Sleepless Society Nyctophobia

    Satu lagi cerita soal anak setan (dalam artian figuratif ya) yang saya tonton selama pandemi ini. Sungguh nonton film dan series soal kejahatan para anak-anak bangke ini adalah metode KB yang efektif. 

    Memang mungkin cerita soal anak-anak yang jahatnya ngelebihin iblis model the omen, the children dan bahkan The Strange Things about the Johnson belum cukup ramai di kancah perfilman Asia. Apalagi kalo mengingat disini anak-anak selalu jadi 'korban' utama dari film horror. 

    Bahkan sejatinya Toshio di Ju-On juga merupakan korban gaes ((teteup)) ((#PembelaHakAsasiSetan))

    (also don't get me start on Jangsan Tiger ya. Itu film masih bikin saya emosi) 

    Makanya ketika ada cerita mengenai anak yang misterius dan jahat dari Thailand, saya langsung buru-buru nonton di Netflix. Maklum Pil KB dan Kondom sudah abis. 

    Disclaimer: Review ini mengandung Spoiler! 

    Sleepless Society: Nyctophobia




    Sleepless Society di Thailand adalah semacam serial seperti American Horror Story yang tiap seasonnya punya premis dan cerita berbeda. Di tahun 2019, mereka merilis season yang berjudul Nyctophobia alias fobia kegelapan. 

    Ceritanya bermula ketika Meena, seorang ibu dan Direktur Rumah Sakit yang depresi pasca meninggalnya sang anak, mencoba untuk bunuh diri. Ternyata anaknya, Arm, meninggal di pelukan Meena karena Asthma dan inhalernya habis. Padahal sebelum meninggal Meena habis marah-marahin Arm karena selalu gangguin Meena kerja. 

    Ini adalah bukti nyata bahwa you don't know what you got till it's gone, literally.

    Meena beruntung karena ditolong oleh teman-temannya, Karn dan Wan yang juga merupakan dokter di Rumah Sakitnya. Akhirnya Meena untuk sementara waktu tinggal di rumah Wan. Disini ketauan kalo setelah Arm meninggal, Meena jadi takut gelap seperti Arm. Arm emang punya beberapa trait khusus seperti Nyctophobia (fobia kegelapan), Asma, dan punya hal-hal yang hanya diketahui Meena sebagai seorang ibu. 

    Gak lama, Meena udah ngerasa baikan, akhirnya dia balik ke rumahnya yang super mewah di tepi pantai. Ehhhh tetiba malem-malem, ujan-ujan, munculah seorang bocah yang mirip banget sama Arm dan MENGAKU REINKARNASI ARM. 


    Arm: ini jojo bu.... jojo kehujanan bu...
    Meena: SAPE ELU BAMBANG???

    Jreng jreeeng... Meena jadi stress lagi dong, secara ini anak emang MIRIP BANGET sama Arm dan bahkan tahu hal-hal yang hanya diketahui oleh Arm.  Akhirnya Meena nonton youtube (??) dan nemu video seorang dukun bernama Sita yang menjelaskan soal reinkarnasi. 

    Sampai sini kita mulai narik napas panjang karena pelan-pelan kita melihat si Arm itu nggak se-angelic yang selama ini diceritakan Meena ke teman-temannya. 

    Satu persatu muncul tokoh tokoh baru yang bikin kondisi makin runyam. Mulai dari Fai, anak Karn yang sotoynya luar biasa, Plernuwan yang problematic, Sita si dukun sampai Pete, mantan suami Meena yang konon nggak deket sama Arm. 

    Kalo kalian orangnya ga sabaran pasti bawaannya pengen nabok Meena karena saya pun merasa begitu. Peluk kalian yang nggak sabaran selama menonton film ini. 

    Pelan-pelan kita jadi penasaran, siapakah "Arm" yang baru datang ini sesungguhnya?? Lalu gimana dengan Meena bisa menghadapi situasi baru ini? 

    Kenapa Saya Mau Menonton Nyctophobia?

    Karena saya nggak pengen *langsung* spoiler, saya komentarin ceritanya nanti aja ya. Saya komentarin gambar dan ceritanya dulu.

    Sebenernya kualitas gambarnya bagus, nggak ((sinetron-esque)) kaya beberapa serial Thailand yang pernah saya tonton, tapi juga nggak yang cinematic kaya film-film thriller Thailand yang baru-baru ini saya tonton. Tapi shot-shotnya jelas nggak astrada alias asal terang gambar ada. 

    Disini kita dikasi liat kehidupan Meena yang sekilas terlihat mevvah tapi penuh dengan cela. Intinya everything is not what it seems. 




    Untuk setting dan latar cerita, kita akan dimanjakan dengan kemewahan duniawi dan setting yang sesuai dengan cerita. Misal kalo ceritanya soal rumah sakit, ya digambarkanlah kantor rumah sakit layaknya kantor. Rumah ya digambarkan seperti rumah. Pokoknya nggak berlebihan atau berkekurangan layaknya sinetron low budget. 

    Tone agak somber yang digunakan oleh Nyctophobia juga berhasil membangun suasana serial yang creepy. Meski penggunaan properti didalam film ini masih ala-kadarnya, misal kamera polaroid yang kita kira akan punya peran besar dalam film ini karena masuk di credit openingnya, ternyata nggak berperan banyak. 

    Tapi kalo dari segi cerita... hmmm, terlalu banyak kebetulan, ya bambang. 

    Series ini cukup panjang, makanya plot hole dan kontinuitasnya juga jadi banyak. Bahkan menurut saya endingnya seolah ngga masuk di akal dan easy fix banget untuk segala plot hole yang terjadi sepanjang cerita. 

    Padahal kalian nggak boleh skip satu episode pun karena ceritanya nyambung terus, tapi tetep aja ada hal hal yang nggak bisa dijelaskan dengan baik. Banyak juga detil cerita yang miss, bahkan penggambaran karakter Arm terasa terlalu one dimensional karena kurang sukses dalam mengulik emosi Arm. Jadi Arm itu ya jahat, Meena itu ya baik, Karn itu baik, Plernuwan ya Pler... udah gitu doang. 

    Nah sampai sini saya mulai spoiler ya. kalo ngga mau baca plis scroll sampai header selanjutnya ajah. 

    Mulai bete nonton Nyctophobia Karena...

    Jujur saya sebel banget sama yang istrinya Karn yaitu Plernuwan. Memang nama adalah doa ya karena perilaku istrinya Karn ini emang peler banget

    Bawaannya waktu arc soal konflik keluarga Karn, saya pengen skip aja karena apalah fungsinya saya menghabiskan 10 menit nonton istrinya Karn eyel-eyelan soal dateng ke reunian temen-temennya. HEYYYYY TEMEN BAIK LAKI LO MENINGGAL AND ALL U CARE ABOUT IS REUNIAN kan anjheng,

    Makanya waktu Pler mo dibunuh saya sih seneng setengah mati. Ini Pler kalo di Indonesia emang tipe-tipe yang hidup di dunia tipu-tipu sosmed. Apalagi yang dia naro rekaman di tempatnya Arm. Sumpah ini orang dramatis, sinetron, nyebelin, nyolot, udahlah dibikin mati aja karena nggak ada peran pentingnya dalam kontinuitas cerita. Kali-kali aja kalo kita ga bahas keluarga Karn, ini series bisa tinggal nyisa 7 episode. 

    Arc soal Pler ini bikin jalan cerita yang tadinya solid--soal Karn yang terlalu sibuk kepo dan main detektif-detektifan sampai lupa keluarga--jadi nanggung antara cinta tak sampai Karn ke Meena dan Pler yang ibu-ibu sinetron banget. Bikin males dan pengen skip-skip jadinya. 

    Terus juga soal kabel Wan yang konslet dan angus.. secara hapenya mereka iPhone generasi terbaru kan ya, kayanya kalo kabel konslet dikit langsung otomatis nggak bisa kepakai gitu. Jadi kejadian iPhone meleduk gara-gara charger konslet itu pushing it banget.

    tapi namanya juga film kan ya. si "Arm" ini juga emang bocah setan banget perilakunya bikin istighfar. Tapi kejahatan-kejahatan yang dilakukan Arm ini menurut saya terlalu berlebih. Saya masih mau paham ketika di awal cerita diceritakan bahwa Arm ini punya kecenderungan psikopat karena suka menyakiti binatang, tapi kalo abis itu langsung bisa bikin rencana buat nyetrum manusia dewasa, ngebunuh orang-orang disekeliling Meena kok kayanya loncatnya jauh banget ya. 

    Meena pun juga sepertinya nggak begitu tertarik menyelidiki masa lalu Arm. Maksudnya gini lho, walaupun itu konon "Arm" yang terbangun di badan orang lain, itu bocah kan pasti punya orang tua, punya rumah, dan pastinya ada yang nyariin. Ini nggak ada sama sekali lho. 

    Saya juga bingung soal rencana Tom dan Arm untuk switch kehidupan dan soal pamannya Tom yang ditemukan jadi mayat. Kalo di endingnya kan dijelaskan bahwa Tom ga terima sama rencana Arm buat ngebunuh pamannya Tom. Tapi kita juga nggak tahu kenapa ujug-ujug pamannya Tom tetep mokat. 


    arm: lihat saja, akan kubunuh dia saat lengah
    Meena: nonton youtube apa lagi ya hari ini?

    Jadi akhirnya cerita yang awalnya solid horror story tentang anak yang jahatnya ngelebihin boneka chucky berubah jadi sinetron putri yang tertukar. 

    Sampai akhir juga penjelasan mengenai Nyctophobia yang dialami sama Meena juga nggak ada juntrungannya. Harusnya series ini dikasi judul Sleepless Society: Bayi Ajaib. Intinya emang anak setan aja gitu si Arm dan Tom ini. Udah gitu doang. 

    Terus gimana ceritanya Pete dan Sita bisa menemukan Tom dan nyusun rencana se-elaborate itu tapi tetep bisa dikadalin bocah tengik modelan Tom bener-bener bikin saya semakin puyeng. Disini juga ngga ada closure yang jelas.

    Tadinya saya udah expect arc ritual-ritual Sita ini bakal berkembang jadi cerita yang lebih cult-like atau emang ada cult yang kerjaannya ngadalin orangtua-orangtua yang sedang bersedih, ternyata ceritanya begitu doang. Kzl. 

    Bahkan penggambaran Karn dan temennya yang polisi aja kesulitan menghadapi Arm. Sebel banget pokoknya nonton series ini, bawaannya pengen cepet kelar dan tahu siapa "Arm" sesungguhnya

    Pokoknya tau tau mendadak sinetron banget lah ini series, kzl. 

    All in All...

    Saya merekomendasikan Nyctophobia ini sebagai series dikala bosan dan dikala lelah; kalau ditonton pas lagi fokus emang malah bikin emosi aja karena kita jadi bisa pinpoint masalah-masalahnya dimana. 

    Series ini juga cocok buat yang sabar nonton serial yang cukup panjang dan sabar nonton kelakuan Plernuwan yang bikin emosi.

    Jadi apakah saya akan menonton Sleepless Society lagi kedepannya? Jujur saya belum tahu. Kayanya sih enggak karena saya kurang sabar sama episodenya yang cukup banyak. Serial Horror--in my opinion--should be short and bittersweet. Meski Nyctophobia adalah pembuka yang cukup lumayan sayangnya ia terjebak dalam kebingungan karena banyaknya karakter didalam cerita yang seharusnya cukup berfokus pada dua orang saja. 

    After all, saya percaya bahwa kengerian yang sesungguhnya terjadi ketika manusia merasa kalau ia sendirian. 

    Serial Nyctophobia ini bisa kalian tonton secara legal di Netflix. Selamat menonton!

    . Rabu, 17 Februari 2021 .

    Saya akhirnya telah mencapai titik lelah menggunakan Macintosh. Kali ini saya serius, saya benar-benar pindah Operating System.

    Kenapa pindah Operating System menjadi sebuah cerita baru buat saya? Karena saya sudah 13 tahun menggunakan mac--10 tahun bahkan secara eksklusif menggunakan mac tanpa produk windows sampingan. Saya menggunakan ekosistem apple untuk sehari-hari, kecuali untuk apple watch yang rentan hilang dikala tangan pegal-pegal.

    Jujur ada banyak hal yang saya sukai dari macintosh. Keyboard yang nyaman sebelum butterfly switch menyerang, trackpad yang akurat dan kaya gestur, tampilan aplikasi yang menawan, kemudahan untuk airdrop dan handoff sehingga saya bisa copy paste dari laptop ke handphone dan handphone ke laptop dengan cepat, sampai layar yang emang.... aduh pokoknya nggak bikin mata capek. Tapi itu semua telah tergantikan dengan kebutuhan baru:

    Yaitu Genshin Impact.

    Karena kita anaknya punya motto Harta, Tahta dan Gacha. 

    Nggak deng, bukan cuma Genshin Impact. Saya mulai merasa kalau macbook yang saya gunakan sudah lagi nggak mendukung kebutuhan pekerjaan freelance saya yang semakin hari semakin banyak, misalnya saja analisis data menggunakan office yang mana lambannya bikin inget Tuhan di Mac, render ini itu yang makin hari makin banyak aja rasanya, sampai ngisi e-filing pajak. Tapi yang paling penting adalah ini saya punya koleksi games di steam, ubisoft, origin, epic dan riot yang nggak kepake banyak banget karena ga disupport Mac lagi.

    Jadi dengan berat hati, saya memutuskan untuk... Build PC

    Kenapa PC? Kenapa Bukan Laptop Gaming?

    Jujur saya bukan tipe blogger/gamer zuma yang kemudian akan mengiklankan laptop gaming pemakaian sehari-hari. Laptop gaming itu jelas nggak masuk budget dan kebutuhan saya secara kita anaknya UMR jogja garis keras.

    Ini adalah pengalaman dan kebutuhan saya sendiri ya, bukan untuk mendiscourage kalian beli laptop gaming atau menjelek-jelekkan laptop gaming. 

    Secakep-cakepnya laptop gaming, semantap-mantapnya laptop gaming, spek yang bisa kita utak atik itu terbatas. Belum lagi penampilan kebanyakan laptop gaming yang nyala-nyala kaya odong-odong dengan RGB yang warnanya bikin sakit kepala seringkali membuat saya malas dengan laptop gaming.

    ((tentunya enggak semua laptop gaming bentuknya seperti odong-odong ya, tapi yang saya taksir kaya Razer Blade harganya beneran bikin kantong bolong))

    Apalagi, kita sebagai gamer zuma sejati jelas sudah punya line up keyboard gaming sendiri. Jadi alamat nantinya itu laptop mahal-mahal dengan teknologi layar aneh aneh itu  tetap akan dicolok ke monitor eksternal--secara, apa sih yang kamu harapkan dengan ngegame di layar 15 inchi?

    Terus pake keyboard sendiri. Mouse sendiri. 

    Cuma bisa dibawa ke kasur aja kalo lagi mager duduk di kursi. Udah begitulah inti pikiran saya soal laptop gaming. 

    Pun kalo mau bicara soal portabilitas, kebanyakan laptop gaming yang harganya masuk di budget saya itu bulky dan berat. Mau bawa-bawa keluar rumah malas, mending bawa iPad yang bisa masuk tas cantik. Jadi sudahlah sekalian saja saya build PC. 


    Adaptasi Dari Mac ke PC

    Ini susah banget. 13 tahun bukan waktu yang sebentar untuk beradaptasi dari sebuah ekosistem ke ekosistem lainnya. Kenapa saya bilang ekosistem? Karena saya adalah Apple fangirl lol. 

    Pekerjaan part-time pertama saya ketika kuliah adalah menjadi campus ambassador (aka anak marketing) di Emax My Campus yang notabene jualan apple. Saya pengguna iPod dari shuffle sampai iPod Touch, lalu iPhone, iPad, Macbook, dan iMac. Jadi kurang Apple apalagi?

    Jadi untuk transfer file foto dan video saya sudah nyaman banget menggunakan iTunes (dulunya) dan Airdrop. Untuk edit video saya sudah punya Final Cut Pro. Untuk musik saya terbantu banget dengan keberadaan Logic yang harganya murah meriah untuk ukuran DAW + menggunakan iPad sebagai MIDI Controllernya. Pokoknya udah saya anaknya Apple banget.

    Salah satu yang bikin saya berpindah adalah karena semenjak OSX Catalina, menggunakan WINE untuk menjalankan program-program windows jadi ribet banget. Saya jadi ngga bisa memainkan games-games yang biasa saya mainkan atau menggunakan program-program berbasis windows di Mac. Transisi Hard Disk dari HFS+ ke APFS yang seolah memaksa saya untuk berpindah ke SSD juga membuat saya kewalahan. Afterall, SSD dengan ukuran yang besar masih cukup mahal.

    Jadi intinya saya lagi kere dan nggak bisa upgrade macbook saya yang semakin uzur. Akhirnya berbekal kenekatan dan keinginan keras untuk kembali main DOTA2 dan Genshin Impact dalam damai akhirnya saya merakit PC. 

    Yang pertama berasa adalah: betapa murahnya merakit PC, pantes semua orang bachot ngomong "mending rakit PC aja"

    "Mending Rakit PC Aja"

    Saya merakit PC di salah satu toko komputer terkemuka di Jogja yaitu Starcomp. Kebetulan saya sedang nemenin Kak Arum benerin Ram dan salah satu salesnya menawarkan untuk merakitkan PC sesuai dengan spek yang saya butuhkan. Nggak sampai setengah jam, saya sudah diwhatsapp dengan quotation harga dan spek yang tentunya masih bisa saya otak-atik.

    Pikiran pertama saya: MURAH SEKALI YA HANYA DENGAN 5 JUTA LEBIH SAYA SUDAH BISA PUNYA CPU DENGAN SPEK YANG CUKUP UNTUK NGEDIT FOTO, NGONTEN DAN TENTUNYA NGEGAME.

    Tentunya saya seneng banget dong. Langsung aja saya beli. Kak Arum sampai geleng-geleng kepala. Besok siangnya itu PC langsung jadi dan bisa dibawa pulang. 

    Karena saya orangnya ((extra)), budget 5 juta lebih itu tentu saja naik dengan alasan butuh RAM buat rendering, butuh HDD buat nyimpen games dan tentunya butuh VGA yang lebih mumpuni (yang ini belom kebeli karena yang saya maunya yang mahal lol)

    *habis itu bingung sendiri entar balik modalnya gimana*

    Kondisinya saya sudah punya monitor sendiri ya (LG 22MK600) jadi pengeluaran saya jauh lebih hemat, kapan-kapan saya cerita soal monitor saya ya. 

    Pengen Balik Ke Apple Nggak?

    Jujur saya kangen Airdrop. Saya kangen banget mindahin file dengan mudah antara HP dan laptop. Saya kangen banget mencet tombol command dan tentunya saya kangen banget sama mighty trackpadnya apple. 

    Tapi itu semua termaafkan dengan bisa main Apex Legends sepuasnya dan buka microsoft office dengan wuzwuzwuz. Maafkan saya Apple, tapi versi Microsoft Office for Mac itu lemot banget, eke nggak suka. 

    Selain itu saya juga leluasa menggunakan hard disk dengan format NTFS--format yang jelas nggak disupport oleh MacOS. 

    sebagai pengguna Mac dari jaman OSX Leopard (yang mana dulu mau upgrade OS aja berbayar!) saya jelas masih susah move on dari beberapa fitur-fitur MacOS, tapi saya masih bisa dengan mudah menemukan substitusinya di Windows. 

    Kecuali untuk DAW ya, karena sampe sekarang saya belum paham cara pake frooty loops dan belom mampu beli license Ableton *menangis dipojokan*

    Mac atau Windows

    Jadi Mac atau Windows? 

    Jujur bagi saya sama saja. Wong yang membedakan memang cuma interface dan environment-nya saja. 

    Saya memang sudah akrab dengan command-command di Mac (sudo killall anyone?) dan bagaimana bernavigasi ria di finder Mac, jadi pas pindah ke windows saya masih kagok (ternyata preview pane di explorer windows ga ngasi detil lebih seperti di mac)

    Tapi kalau soal support ke banyak aplikasi, saya masih prefer windows. Akhirnya mengisi SPT ga perlu nebeng laptop orang cuma buat buka e-form :p

    Sisanya sama, cuma harus membiasakan diri untuk mencet ctrl instead of cmd wkwkwk

    Pertanyaannya, kalau bisa pake dua-duanya, kenapa harus milih salah satu? lol.