• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.

    ((Pulang)) Ke Windows Setelah 13 Tahun Menggunakan Mac

    Saya akhirnya telah mencapai titik lelah menggunakan Macintosh. Kali ini saya serius, saya benar-benar pindah Operating System.

    Kenapa pindah Operating System menjadi sebuah cerita baru buat saya? Karena saya sudah 13 tahun menggunakan mac--10 tahun bahkan secara eksklusif menggunakan mac tanpa produk windows sampingan. Saya menggunakan ekosistem apple untuk sehari-hari, kecuali untuk apple watch yang rentan hilang dikala tangan pegal-pegal.

    Jujur ada banyak hal yang saya sukai dari macintosh. Keyboard yang nyaman sebelum butterfly switch menyerang, trackpad yang akurat dan kaya gestur, tampilan aplikasi yang menawan, kemudahan untuk airdrop dan handoff sehingga saya bisa copy paste dari laptop ke handphone dan handphone ke laptop dengan cepat, sampai layar yang emang.... aduh pokoknya nggak bikin mata capek. Tapi itu semua telah tergantikan dengan kebutuhan baru:

    Yaitu Genshin Impact.

    Karena kita anaknya punya motto Harta, Tahta dan Gacha. 

    Nggak deng, bukan cuma Genshin Impact. Saya mulai merasa kalau macbook yang saya gunakan sudah lagi nggak mendukung kebutuhan pekerjaan freelance saya yang semakin hari semakin banyak, misalnya saja analisis data menggunakan office yang mana lambannya bikin inget Tuhan di Mac, render ini itu yang makin hari makin banyak aja rasanya, sampai ngisi e-filing pajak. Tapi yang paling penting adalah ini saya punya koleksi games di steam, ubisoft, origin, epic dan riot yang nggak kepake banyak banget karena ga disupport Mac lagi.

    Jadi dengan berat hati, saya memutuskan untuk... Build PC

    Kenapa PC? Kenapa Bukan Laptop Gaming?

    Jujur saya bukan tipe blogger/gamer zuma yang kemudian akan mengiklankan laptop gaming pemakaian sehari-hari. Laptop gaming itu jelas nggak masuk budget dan kebutuhan saya secara kita anaknya UMR jogja garis keras.

    Ini adalah pengalaman dan kebutuhan saya sendiri ya, bukan untuk mendiscourage kalian beli laptop gaming atau menjelek-jelekkan laptop gaming. 

    Secakep-cakepnya laptop gaming, semantap-mantapnya laptop gaming, spek yang bisa kita utak atik itu terbatas. Belum lagi penampilan kebanyakan laptop gaming yang nyala-nyala kaya odong-odong dengan RGB yang warnanya bikin sakit kepala seringkali membuat saya malas dengan laptop gaming.

    ((tentunya enggak semua laptop gaming bentuknya seperti odong-odong ya, tapi yang saya taksir kaya Razer Blade harganya beneran bikin kantong bolong))

    Apalagi, kita sebagai gamer zuma sejati jelas sudah punya line up keyboard gaming sendiri. Jadi alamat nantinya itu laptop mahal-mahal dengan teknologi layar aneh aneh itu  tetap akan dicolok ke monitor eksternal--secara, apa sih yang kamu harapkan dengan ngegame di layar 15 inchi?

    Terus pake keyboard sendiri. Mouse sendiri. 

    Cuma bisa dibawa ke kasur aja kalo lagi mager duduk di kursi. Udah begitulah inti pikiran saya soal laptop gaming. 

    Pun kalo mau bicara soal portabilitas, kebanyakan laptop gaming yang harganya masuk di budget saya itu bulky dan berat. Mau bawa-bawa keluar rumah malas, mending bawa iPad yang bisa masuk tas cantik. Jadi sudahlah sekalian saja saya build PC. 


    Adaptasi Dari Mac ke PC

    Ini susah banget. 13 tahun bukan waktu yang sebentar untuk beradaptasi dari sebuah ekosistem ke ekosistem lainnya. Kenapa saya bilang ekosistem? Karena saya adalah Apple fangirl lol. 

    Pekerjaan part-time pertama saya ketika kuliah adalah menjadi campus ambassador (aka anak marketing) di Emax My Campus yang notabene jualan apple. Saya pengguna iPod dari shuffle sampai iPod Touch, lalu iPhone, iPad, Macbook, dan iMac. Jadi kurang Apple apalagi?

    Jadi untuk transfer file foto dan video saya sudah nyaman banget menggunakan iTunes (dulunya) dan Airdrop. Untuk edit video saya sudah punya Final Cut Pro. Untuk musik saya terbantu banget dengan keberadaan Logic yang harganya murah meriah untuk ukuran DAW + menggunakan iPad sebagai MIDI Controllernya. Pokoknya udah saya anaknya Apple banget.

    Salah satu yang bikin saya berpindah adalah karena semenjak OSX Catalina, menggunakan WINE untuk menjalankan program-program windows jadi ribet banget. Saya jadi ngga bisa memainkan games-games yang biasa saya mainkan atau menggunakan program-program berbasis windows di Mac. Transisi Hard Disk dari HFS+ ke APFS yang seolah memaksa saya untuk berpindah ke SSD juga membuat saya kewalahan. Afterall, SSD dengan ukuran yang besar masih cukup mahal.

    Jadi intinya saya lagi kere dan nggak bisa upgrade macbook saya yang semakin uzur. Akhirnya berbekal kenekatan dan keinginan keras untuk kembali main DOTA2 dan Genshin Impact dalam damai akhirnya saya merakit PC. 

    Yang pertama berasa adalah: betapa murahnya merakit PC, pantes semua orang bachot ngomong "mending rakit PC aja"

    "Mending Rakit PC Aja"

    Saya merakit PC di salah satu toko komputer terkemuka di Jogja yaitu Starcomp. Kebetulan saya sedang nemenin Kak Arum benerin Ram dan salah satu salesnya menawarkan untuk merakitkan PC sesuai dengan spek yang saya butuhkan. Nggak sampai setengah jam, saya sudah diwhatsapp dengan quotation harga dan spek yang tentunya masih bisa saya otak-atik.

    Pikiran pertama saya: MURAH SEKALI YA HANYA DENGAN 5 JUTA LEBIH SAYA SUDAH BISA PUNYA CPU DENGAN SPEK YANG CUKUP UNTUK NGEDIT FOTO, NGONTEN DAN TENTUNYA NGEGAME.

    Tentunya saya seneng banget dong. Langsung aja saya beli. Kak Arum sampai geleng-geleng kepala. Besok siangnya itu PC langsung jadi dan bisa dibawa pulang. 

    Karena saya orangnya ((extra)), budget 5 juta lebih itu tentu saja naik dengan alasan butuh RAM buat rendering, butuh HDD buat nyimpen games dan tentunya butuh VGA yang lebih mumpuni (yang ini belom kebeli karena yang saya maunya yang mahal lol)

    *habis itu bingung sendiri entar balik modalnya gimana*

    Kondisinya saya sudah punya monitor sendiri ya (LG 22MK600) jadi pengeluaran saya jauh lebih hemat, kapan-kapan saya cerita soal monitor saya ya. 

    Pengen Balik Ke Apple Nggak?

    Jujur saya kangen Airdrop. Saya kangen banget mindahin file dengan mudah antara HP dan laptop. Saya kangen banget mencet tombol command dan tentunya saya kangen banget sama mighty trackpadnya apple. 

    Tapi itu semua termaafkan dengan bisa main Apex Legends sepuasnya dan buka microsoft office dengan wuzwuzwuz. Maafkan saya Apple, tapi versi Microsoft Office for Mac itu lemot banget, eke nggak suka. 

    Selain itu saya juga leluasa menggunakan hard disk dengan format NTFS--format yang jelas nggak disupport oleh MacOS. 

    sebagai pengguna Mac dari jaman OSX Leopard (yang mana dulu mau upgrade OS aja berbayar!) saya jelas masih susah move on dari beberapa fitur-fitur MacOS, tapi saya masih bisa dengan mudah menemukan substitusinya di Windows. 

    Kecuali untuk DAW ya, karena sampe sekarang saya belum paham cara pake frooty loops dan belom mampu beli license Ableton *menangis dipojokan*

    Mac atau Windows

    Jadi Mac atau Windows? 

    Jujur bagi saya sama saja. Wong yang membedakan memang cuma interface dan environment-nya saja. 

    Saya memang sudah akrab dengan command-command di Mac (sudo killall anyone?) dan bagaimana bernavigasi ria di finder Mac, jadi pas pindah ke windows saya masih kagok (ternyata preview pane di explorer windows ga ngasi detil lebih seperti di mac)

    Tapi kalau soal support ke banyak aplikasi, saya masih prefer windows. Akhirnya mengisi SPT ga perlu nebeng laptop orang cuma buat buka e-form :p

    Sisanya sama, cuma harus membiasakan diri untuk mencet ctrl instead of cmd wkwkwk

    Pertanyaannya, kalau bisa pake dua-duanya, kenapa harus milih salah satu? lol.

    Saya akhirnya telah mencapai titik lelah menggunakan Macintosh. Kali ini saya serius, saya benar-benar pindah Operating System.

    Kenapa pindah Operating System menjadi sebuah cerita baru buat saya? Karena saya sudah 13 tahun menggunakan mac--10 tahun bahkan secara eksklusif menggunakan mac tanpa produk windows sampingan. Saya menggunakan ekosistem apple untuk sehari-hari, kecuali untuk apple watch yang rentan hilang dikala tangan pegal-pegal.

    Jujur ada banyak hal yang saya sukai dari macintosh. Keyboard yang nyaman sebelum butterfly switch menyerang, trackpad yang akurat dan kaya gestur, tampilan aplikasi yang menawan, kemudahan untuk airdrop dan handoff sehingga saya bisa copy paste dari laptop ke handphone dan handphone ke laptop dengan cepat, sampai layar yang emang.... aduh pokoknya nggak bikin mata capek. Tapi itu semua telah tergantikan dengan kebutuhan baru:

    Yaitu Genshin Impact.

    Karena kita anaknya punya motto Harta, Tahta dan Gacha. 

    Nggak deng, bukan cuma Genshin Impact. Saya mulai merasa kalau macbook yang saya gunakan sudah lagi nggak mendukung kebutuhan pekerjaan freelance saya yang semakin hari semakin banyak, misalnya saja analisis data menggunakan office yang mana lambannya bikin inget Tuhan di Mac, render ini itu yang makin hari makin banyak aja rasanya, sampai ngisi e-filing pajak. Tapi yang paling penting adalah ini saya punya koleksi games di steam, ubisoft, origin, epic dan riot yang nggak kepake banyak banget karena ga disupport Mac lagi.

    Jadi dengan berat hati, saya memutuskan untuk... Build PC

    Kenapa PC? Kenapa Bukan Laptop Gaming?

    Jujur saya bukan tipe blogger/gamer zuma yang kemudian akan mengiklankan laptop gaming pemakaian sehari-hari. Laptop gaming itu jelas nggak masuk budget dan kebutuhan saya secara kita anaknya UMR jogja garis keras.

    Ini adalah pengalaman dan kebutuhan saya sendiri ya, bukan untuk mendiscourage kalian beli laptop gaming atau menjelek-jelekkan laptop gaming. 

    Secakep-cakepnya laptop gaming, semantap-mantapnya laptop gaming, spek yang bisa kita utak atik itu terbatas. Belum lagi penampilan kebanyakan laptop gaming yang nyala-nyala kaya odong-odong dengan RGB yang warnanya bikin sakit kepala seringkali membuat saya malas dengan laptop gaming.

    ((tentunya enggak semua laptop gaming bentuknya seperti odong-odong ya, tapi yang saya taksir kaya Razer Blade harganya beneran bikin kantong bolong))

    Apalagi, kita sebagai gamer zuma sejati jelas sudah punya line up keyboard gaming sendiri. Jadi alamat nantinya itu laptop mahal-mahal dengan teknologi layar aneh aneh itu  tetap akan dicolok ke monitor eksternal--secara, apa sih yang kamu harapkan dengan ngegame di layar 15 inchi?

    Terus pake keyboard sendiri. Mouse sendiri. 

    Cuma bisa dibawa ke kasur aja kalo lagi mager duduk di kursi. Udah begitulah inti pikiran saya soal laptop gaming. 

    Pun kalo mau bicara soal portabilitas, kebanyakan laptop gaming yang harganya masuk di budget saya itu bulky dan berat. Mau bawa-bawa keluar rumah malas, mending bawa iPad yang bisa masuk tas cantik. Jadi sudahlah sekalian saja saya build PC. 


    Adaptasi Dari Mac ke PC

    Ini susah banget. 13 tahun bukan waktu yang sebentar untuk beradaptasi dari sebuah ekosistem ke ekosistem lainnya. Kenapa saya bilang ekosistem? Karena saya adalah Apple fangirl lol. 

    Pekerjaan part-time pertama saya ketika kuliah adalah menjadi campus ambassador (aka anak marketing) di Emax My Campus yang notabene jualan apple. Saya pengguna iPod dari shuffle sampai iPod Touch, lalu iPhone, iPad, Macbook, dan iMac. Jadi kurang Apple apalagi?

    Jadi untuk transfer file foto dan video saya sudah nyaman banget menggunakan iTunes (dulunya) dan Airdrop. Untuk edit video saya sudah punya Final Cut Pro. Untuk musik saya terbantu banget dengan keberadaan Logic yang harganya murah meriah untuk ukuran DAW + menggunakan iPad sebagai MIDI Controllernya. Pokoknya udah saya anaknya Apple banget.

    Salah satu yang bikin saya berpindah adalah karena semenjak OSX Catalina, menggunakan WINE untuk menjalankan program-program windows jadi ribet banget. Saya jadi ngga bisa memainkan games-games yang biasa saya mainkan atau menggunakan program-program berbasis windows di Mac. Transisi Hard Disk dari HFS+ ke APFS yang seolah memaksa saya untuk berpindah ke SSD juga membuat saya kewalahan. Afterall, SSD dengan ukuran yang besar masih cukup mahal.

    Jadi intinya saya lagi kere dan nggak bisa upgrade macbook saya yang semakin uzur. Akhirnya berbekal kenekatan dan keinginan keras untuk kembali main DOTA2 dan Genshin Impact dalam damai akhirnya saya merakit PC. 

    Yang pertama berasa adalah: betapa murahnya merakit PC, pantes semua orang bachot ngomong "mending rakit PC aja"

    "Mending Rakit PC Aja"

    Saya merakit PC di salah satu toko komputer terkemuka di Jogja yaitu Starcomp. Kebetulan saya sedang nemenin Kak Arum benerin Ram dan salah satu salesnya menawarkan untuk merakitkan PC sesuai dengan spek yang saya butuhkan. Nggak sampai setengah jam, saya sudah diwhatsapp dengan quotation harga dan spek yang tentunya masih bisa saya otak-atik.

    Pikiran pertama saya: MURAH SEKALI YA HANYA DENGAN 5 JUTA LEBIH SAYA SUDAH BISA PUNYA CPU DENGAN SPEK YANG CUKUP UNTUK NGEDIT FOTO, NGONTEN DAN TENTUNYA NGEGAME.

    Tentunya saya seneng banget dong. Langsung aja saya beli. Kak Arum sampai geleng-geleng kepala. Besok siangnya itu PC langsung jadi dan bisa dibawa pulang. 

    Karena saya orangnya ((extra)), budget 5 juta lebih itu tentu saja naik dengan alasan butuh RAM buat rendering, butuh HDD buat nyimpen games dan tentunya butuh VGA yang lebih mumpuni (yang ini belom kebeli karena yang saya maunya yang mahal lol)

    *habis itu bingung sendiri entar balik modalnya gimana*

    Kondisinya saya sudah punya monitor sendiri ya (LG 22MK600) jadi pengeluaran saya jauh lebih hemat, kapan-kapan saya cerita soal monitor saya ya. 

    Pengen Balik Ke Apple Nggak?

    Jujur saya kangen Airdrop. Saya kangen banget mindahin file dengan mudah antara HP dan laptop. Saya kangen banget mencet tombol command dan tentunya saya kangen banget sama mighty trackpadnya apple. 

    Tapi itu semua termaafkan dengan bisa main Apex Legends sepuasnya dan buka microsoft office dengan wuzwuzwuz. Maafkan saya Apple, tapi versi Microsoft Office for Mac itu lemot banget, eke nggak suka. 

    Selain itu saya juga leluasa menggunakan hard disk dengan format NTFS--format yang jelas nggak disupport oleh MacOS. 

    sebagai pengguna Mac dari jaman OSX Leopard (yang mana dulu mau upgrade OS aja berbayar!) saya jelas masih susah move on dari beberapa fitur-fitur MacOS, tapi saya masih bisa dengan mudah menemukan substitusinya di Windows. 

    Kecuali untuk DAW ya, karena sampe sekarang saya belum paham cara pake frooty loops dan belom mampu beli license Ableton *menangis dipojokan*

    Mac atau Windows

    Jadi Mac atau Windows? 

    Jujur bagi saya sama saja. Wong yang membedakan memang cuma interface dan environment-nya saja. 

    Saya memang sudah akrab dengan command-command di Mac (sudo killall anyone?) dan bagaimana bernavigasi ria di finder Mac, jadi pas pindah ke windows saya masih kagok (ternyata preview pane di explorer windows ga ngasi detil lebih seperti di mac)

    Tapi kalau soal support ke banyak aplikasi, saya masih prefer windows. Akhirnya mengisi SPT ga perlu nebeng laptop orang cuma buat buka e-form :p

    Sisanya sama, cuma harus membiasakan diri untuk mencet ctrl instead of cmd wkwkwk

    Pertanyaannya, kalau bisa pake dua-duanya, kenapa harus milih salah satu? lol.
    . Rabu, 17 Februari 2021 .

    2 komentar

    1. wah lama juga ya di mac udah 13 tahun, aku malah belum pernah tuh pakai mac. Dari dulu selalu windows, walau sebenarnya pengen nyoba juga

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69