• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.



    Jujur, saya paling males beres-beres dompet. Kalau kata pak suami, dompet saya itu kayak segitiga bermuda--apa aja yang masuk pasti ilang--kecuali angpao sisa imlek yang entah kenapa makin numpuk karena saya jadikan jimat. Sampai hari ini, saya merasa kalau saya punya hutang budi pada guru akutansi saya jaman SMP (Hai Bu Kris!) dan SMA (Hai Pak Dendy!) karena tanpa mereka, mungkin sekarang saya akan jadi orang ter-gak-tau-duit-gue-lari-kemana. Yes, I log all of my expenses, company accountant style!

    Mungkin, karena saya malas kalo liat dompet saya penuh berisi tumpukan uang receh (ya, uang receh karena langka sekali saya bawa pecahan 100 ribuan semenjak tinggal di Jogja), makanya saya lebih memilih membawa debit card, prepaid card atau credit card kemana-mana. Alasannya simpel, saya tau uangnya lari kemana!

    Lho, iya kan? kalau pake uang elektronik, kita tinggal cek saja rekening kita dengan berbagai aplikasi yang tersedia--ngeceknya bisa lewat handphone pula. Kan praktis? Coba kalau pake uang kertas, masa makan angkringan minta nota? yekeles!

    Lebih lanjutnya lagi, sebagai orang yang selalu berusaha untuk stay organized--walaupun lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya--saya itu selalu lupa habis ngeluarin berapa, dimana, dan buat apa. Hal ini diperparah dengan belanja-belanja yang ada nilai nominal desimalnya. Seriously, siapa sih yang punya pecahan 28.214 rupiah untuk beli deodoran? siapaaaa???? *gedor pintu kaca minimarket yang buka 24 jam*

    Hal ini berubah setelah saya tinggal di Jogja, dimana uang cash adalah primadona--lebih tepatnya uang cash dengan nominal dibawah 50 ribu rupiah, karena makanan disini murah-murah syekaliiii (meskipun sekarang udah agak mahal--terimakasih inflasi *mendelik-delikkan mata dengan sinis dan sarkastis ala neneknya tapasya*) Semenjak di Jogja saya sudah ganti dompet 10 kali! 10 kali saudara-saudaraaaaa!!!! Padahal di Jakarta saya paling males gonta ganti dompet.

    ganti-ganti dompet ini ternyata ada korelasinya dengan si isi dompet yang kemana-mana. Saya cenderung memasukkan semuanya ke dompet, dari uang, nota, receh, foto, kartu member ini itu. Duh dompet, maafkan aku yang hoarding impulsif bin abusive ini *sambil nangis dipojokan*

    oleh karena itu, saya menemukan sebuah cara untuk mengontrol si isi dompet. Jadi, selain membuat si dompet lebih rapi, pengeluaran kita jadi lebih terkontrol juga. Penasaran? Cus yuk disimak!

    . Kamis, 27 Oktober 2016 .

    6 Cara Mudah Untuk "Mengontrol" Isi Dompet Kita!

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69
    . Kamis, 27 Oktober 2016 .



    Jujur, saya paling males beres-beres dompet. Kalau kata pak suami, dompet saya itu kayak segitiga bermuda--apa aja yang masuk pasti ilang--kecuali angpao sisa imlek yang entah kenapa makin numpuk karena saya jadikan jimat. Sampai hari ini, saya merasa kalau saya punya hutang budi pada guru akutansi saya jaman SMP (Hai Bu Kris!) dan SMA (Hai Pak Dendy!) karena tanpa mereka, mungkin sekarang saya akan jadi orang ter-gak-tau-duit-gue-lari-kemana. Yes, I log all of my expenses, company accountant style!

    Mungkin, karena saya malas kalo liat dompet saya penuh berisi tumpukan uang receh (ya, uang receh karena langka sekali saya bawa pecahan 100 ribuan semenjak tinggal di Jogja), makanya saya lebih memilih membawa debit card, prepaid card atau credit card kemana-mana. Alasannya simpel, saya tau uangnya lari kemana!

    Lho, iya kan? kalau pake uang elektronik, kita tinggal cek saja rekening kita dengan berbagai aplikasi yang tersedia--ngeceknya bisa lewat handphone pula. Kan praktis? Coba kalau pake uang kertas, masa makan angkringan minta nota? yekeles!

    Lebih lanjutnya lagi, sebagai orang yang selalu berusaha untuk stay organized--walaupun lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya--saya itu selalu lupa habis ngeluarin berapa, dimana, dan buat apa. Hal ini diperparah dengan belanja-belanja yang ada nilai nominal desimalnya. Seriously, siapa sih yang punya pecahan 28.214 rupiah untuk beli deodoran? siapaaaa???? *gedor pintu kaca minimarket yang buka 24 jam*

    Hal ini berubah setelah saya tinggal di Jogja, dimana uang cash adalah primadona--lebih tepatnya uang cash dengan nominal dibawah 50 ribu rupiah, karena makanan disini murah-murah syekaliiii (meskipun sekarang udah agak mahal--terimakasih inflasi *mendelik-delikkan mata dengan sinis dan sarkastis ala neneknya tapasya*) Semenjak di Jogja saya sudah ganti dompet 10 kali! 10 kali saudara-saudaraaaaa!!!! Padahal di Jakarta saya paling males gonta ganti dompet.

    ganti-ganti dompet ini ternyata ada korelasinya dengan si isi dompet yang kemana-mana. Saya cenderung memasukkan semuanya ke dompet, dari uang, nota, receh, foto, kartu member ini itu. Duh dompet, maafkan aku yang hoarding impulsif bin abusive ini *sambil nangis dipojokan*

    oleh karena itu, saya menemukan sebuah cara untuk mengontrol si isi dompet. Jadi, selain membuat si dompet lebih rapi, pengeluaran kita jadi lebih terkontrol juga. Penasaran? Cus yuk disimak!

    . Minggu, 23 Oktober 2016 .



    Siapa disini yang suka makan teloooooor????? *sambil melambai-lambaikan tangan heboh* Kali ini saya mau agak-agak ide buat nge-review kitchen gadget yang saya beli dari Daiso Indonesia. Disclaimer dulu yaaa, saya gak dibayar untuk nge-review egg timer ini, dan saya beli egg timer nya pake uang sendiri (dan juga harganya mursida, hanya 25 ribu saja buibuuu). Saya belinya di Daiso Kota Kasablanka waktu lagi pulang ke Jakarta sambil memendam rasa doa supaya Daiso segera buka di Jogjakarta. Penasaran?

    . Kamis, 20 Oktober 2016 .


    Ngomongin skincare yuk! Udah lama saya nggak bahas skin care dan beauty di blog ini--karena bawaannya ngomongin ekonomi keluarga melulu. Maklum, saya pendukung kebijakan ekonomi mikronya jokowi--njuk, apa hubungannya deh. oke skip.

    Tanggal 14 Oktober kemarin, saya diundang oleh PT AVO untuk hadir ke Anniversary Party-nya Avoskin di Hotel Grand Aston Yogyakarta. Nah, bagi kamu kamu yang suka ngestalk selebgram seperti sayah liat-liat instagram, pastinya tahu kalo Avoskin adalah salah satu brand skincare yang lagi ngehits di instagram. Kok ngehits? well, it's simple, in beauty community there's a lot of rave for this brand. Banyak banget yang ngerasa cucok pake avoskin--termasuk saya, hihihi. Apalagi, ternyata Avoskin dan PT AVO ini berasal dari Yogyakarta lho! Well, i always am an advocate for using local products! Jadi, kaya apa sih Avoskin dan acara ulangtahunnya?


    . Rabu, 19 Oktober 2016 .


    Baru kemarin saya mengantarkan teman saya ke bengkel Honda karena spionnya patah. Teman saya ini memang baru beberapa bulan belajar menyetir, dan biasanya sih ngga pernah ada yang terjadi. Apesnya, kemarin itu antara dia sedang tidak fokus atau emang ada gangguan gaib karena tempatnya emang angker waktu dia mau parkir, spionnya kena tiang dan patah aja gitu *insert_deep_sigh*

    Saya masih ingat dia menelfon dengan panik, "Cik! Spionku Patah!!!" 

    Dan saya yang sedang enak-enak ngerjain tugas mata kuliah kontrak kemudian meluncur ke TKP dalam hitungan menit. Pertanyaan pertama saya standar banget, "di asuransi gak?"


    . Senin, 17 Oktober 2016 .



    "mbak, kamu bangun jam berapa tiap pagi?" -- quotes by, literally, semua orang yang liat foto-foto bento buatan saya untuk pak suami di Path. 

    Saya bangun pagi-pagi buta. Biasanya sekitar jam 3 atau jam 4--terus saya akan mengalokasikan kurang lebih 45 menit untuk goler-goler baca gosip di instagram atau di detikforum baru memulai kegiatan masak-masak. Kontraproduktif, i know. 

    Tapi, ada alasannya kenapa saya selalu bangun pagi-pagi buta. Bapak saya selalu mengajarkan kalau the earliest bird always get the best worm. Burung yang bangun paling pagi buta akan dapat cacing yang paling gede--soalnya saingannya masih belom pada bangun. Ini berlaku karena bapak dulu punya usaha yang mengharuskan beliau bangun dan buka lapak lebih pagi dari saingannya yang lain.

    Sekarang, setelah saya mencoba untuk punya usaha sendiri, ternyata memang bangun pagi itu rewarding. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan pagi-pagi buta yang itu ternyata bisa nge-boost mood saya seharian. Kenapa penting untuk nge-boost mood sendiri? Because I'm my own boss and nobody will told me if I messed up! Jadi penting bagi saya untuk bisa menyemangati diri saya sendiri ketika saya sedang tidak semangat *insert_emoticon_nangis_sambil_ketawa_here*

    Saya yakin, diluar sana banyak Entrepeneur muda yang hidupnya full of pressure dan rentan stress. Bagi yang ngerasa, here you go! you're not alone! 

    Personally, bagi saya, hidup itu dimulai di pagi hari. Particularly, 3:30 AM. Pokoknya, setelah mengadopsi minimalism lifestyle, saya tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi dan melakukan hal-hal ini untuk nge-boost mood saya seharian, in no-particular order. Jadi urutannya bisa saya ganti-ganti seenak jidat. Lumayan sih, bisa bikin pagi saya lebih hidup daripada rutinitas bangun-jam-delapan-terus-snooze-terus-snooze-terus-riweuh. 

    Seperti biasa, apalah gunanya ilmu pengetahuan kalau cuma kita yang mengetahui kan? Jadi sok atuh, kita mulai saja sharing Stress-Free Morning Routine Kali ini!


    . Kamis, 06 Oktober 2016 .

    Catatan: post ini dibuat oleh mahasiswa dan target audiensnya jelas mahasiswa. Tapi kalaupun dirimu sudah bukan lagi mahasiswa, anggap saja ini semacam nostalgia telenovela kehidupan perkampusan sekian tahun silam itu. Selamat Membaca!

    inspirasi usaha anak kuliahan


    Sebagai mahasiswa (nyaris) abadi yang sudah 6 tahun bercokol dikampus, saya jelas mengetahui seluk beluk dan lika-liku kehidupan anak kuliahan; dari ngantri fotokopian tiap mau UAS sampai patungan buat beli Dunkin Donuts' Promo Beli 6 Gratis 6 yang makannya pun rame-rame (ya teman-temanku yang tergabung dalam geng "Indonesia Darurat Nyinyir", I'm Talking About You Girls Here!) Pokoknya kehidupan anak kuliahan itu berkisar dari "gue mau berusaha hemat supaya ngga nyusahin orangtua" sampai "gue menyerah kehidupan ini begitu kejam, gue mau order pizza"

    Jujur, kalau kita gak pandai mengelola uang dan terjebak dengan teman-teman yang salah, kita pasti bakal kehabisan uang sebelum akhir bulan. Siapa sih, mahasiswa yang ngga pernah merasakan bokek? Hmmm... kalaupun ada, mungkin keluarganya kaya tujuh turunan kuadrat kali ya, sampai ngga merasakan yang namanya bokek. 

    Saya serinnnggggg banget ngerasain yang namanya bokek. Bukan karena saya gak punya uang, tapi karena saya pelit. Terserah apa kata orang, pokoknya kalo nominal angka jumlah uang saya yang paling depan sudah turun 1 digit, saya bakal mengumumkan kalau saya bokek, gak bisa diajak jalan-jalan, dan hanya akan makan burjo atau angkringan sampai akhir bulan. Bodo amat, sesungguhnya  bagi saya, pelit itu pangkal kaya *insert_helaan_nafas_panjang_disini*

    Tapi ya, ternyata setelah melalui beberapa tahap kepelitan (iyes, pelit juga ada tahapnya, but this is another topic for another day), saya menemukan cara-cara ajaib untuk mengeksploitasi pergaulan anak kuliahan untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah! Cara-cara ini saya temukan dengan tidak sengaja, baik ketika mengamati bisnis yang dijalani teman-teman kuliah saya maupun pengalaman pribadi yang saya kumpulkan selama menjadi mahasiswa (nyaris) abadi. Jadi, cara ini terbukti, setidaknya dalam hidup saya, hahaha. 

    Nah, apalah gunanya pengetahuan jikalau hanya kita yang mengetahui, ya kan? *angkat-angkat alis* 
    Jadi, inilah saatnya saya berbagi 5 cara yang menurut saya anti-mainstream untuk mengambil keuntungan finansial dari pergaulan anak kuliahan. Selamat mencoba!


    . Selasa, 04 Oktober 2016 .

    beli rumah atau ngontrak

    Waktu saya kecil, orangtua saya selalu bicara soal investasi properti layaknya dewa-dewi di kahyangan. Pokoknya, investasi yang paling bener adalah beli rumah atau tanah. Reksadana, deposito, saham, forex dan lain-lain cuma sementara, sedang yang paling oke adalah punya rumah, tanah dan sawah. Pokoknya, pokoknya dan pokoknya.

    Inilah salah satu alasan saya ujug-ujug membeli rumah di awal usia 20an. Waktu itu bayangan saya (yang super-duper-naif) adalah: kita punya uang, kita nggak mau hidup susah di rumah mertua, kita beli rumah. Simpel ya? Padahal saya sendiri waktu itu ngga kepikir untuk menikah sama sekali lho, hehehe.

    Jadilah saya beli rumah di pinggiran kabupaten Sleman, padahal KTP saya masih KTP Jakarta. Waktu itu yang saya beli adalah rumah tipe 45 dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Sedikit besar untuk starter home, tapi cukup untuk kalau-kalau saya jadi berkeluarga (yang mana waktu itu saya dismiss dengan alasan kamar itu untuk orang tua, saya dan satu orang pembantu).

    beli rumah atau ngontrak


    Sekarang, beberapa tahun kemudian, rasanya agak-agak menyesal juga saya ujug-ujug beli rumah. Perawatan rumah itu ternyata jauh lebih mahal dari yang saya bayangkan dan ujung-ujungnya, saya tinggal di rumah itu sendirian. Memang sih, bisa saja saya jual lagi rumah itu dengan harga yang lebih tinggi ketimbang waktu saya membelinya, apalagi waktu itupun saya beli rumah dengan pembayaran cash. 

    Lho kok menyesal? Gak bersyukur amat! Mungkin begitu yang orang-orang pikirkan ketika membaca tulisan saya ini.

    Saya bukan financial planner yang punya ilmu ekonomi, jadi mungkin tulisan saya ini akan sangat nggak make sense dari segi ekonomi. I know zero shit about this whole property investment. Latar belakang keilmuan saya nggak bisa menjelaskan kenapa saya punya love-hate relationship sama rumah saya--yang mana dulu pernah saya ceritakan di post saya yang berbahasa inggris, dan saya yakin gak cuma saya yang bimbang bin galau kaya gini.

    Satu yang saya tahu, ini adalah sebagian hal yang membuat saya punya pikiran bahwa beli rumah bukanlah investasi yang paling baik buat semua orang. It's a good investment, but not for everyone.  Nah terus kenapa saya bisa mikir begitu?

    1. Beli Rumah Itu Mahal, dan Apakah Pasti Balik Modal?

    Banyak orang yang berpikir bahwa kalau kita beli rumah, nanti suatu saat kalau kita tak lagi nyaman berada di rumah itu kita bisa langsung menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Eits, nanti dulu!

    beli rumah atau ngontrak


    Kalau saya boleh jujur, saya paling kepikiran soal inflasi. Inflasi itu gampangnya adalah proses meningkatnya harga komoditas secara umum dan terus menerus. Misalnya, hari ini kita bisa membeli sebuah rumah dengan harga 300 juta, dan dalam empat tahun kita menjual rumah itu dengan harga 500 juta, TAPI, uang 500 juta pada masa itu senilai dengan 300 juta di empat tahun yang lalu, itu artinya kita tidak betul-betul mendapat keuntungan dari menjual rumah tersebut. Kita simply hanya mendapatkan 300 juta kita lagi. Kalau begitu, kan namanya ngga dapet untung?

    Itu saya belum ngitung kalau rumah sempat dicat ulang, atau sempat bikin built in wardrobe dan kitchen set, atau malah menambah fitur ini itu untuk si rumah yang ngga mungkin diajak ke rumah baru, macam kolam renang atau water heater tenaga surya. Belum lagi uang yang sudah kita keluarkan untuk pajak bumi dan bangunan selama kita tinggal, biaya notaris waktu jual beli rumah, biaya ini itu yang keluar selama kita punya rumah itu, dan masih banyak lagi. Nah cus itung sendiri deh!

    Padahal saya yakin, tidak semua orang beli rumah dengan uang tunai. Ada yang harus mencicil KPR atau pinjaman dengan bunga sekian-sekian yang menjadikan si rumah sebenarnya lebih mahal karena kita bayarin si bunga dan si komisi. Kalau sudah begitu, kan kita harus itung-itungan, sebenarnya untung-rugi kita jual beli rumah itu seperti apa. Dan ini bukan bidang saya yaaaa, karena saya disini cuma curhat aja, hihihi.

    Jadi, belilah rumah ketika kita yakin kita akan memanfaatkan si rumah dalam jangka panjang (kalau perlu seumur hidup), sehingga kita bisa memanfaatkan nilai ekonomis si rumah selama-lamanya. Kalau masih pengen beli-jual beli-jual, mending kita beli emas batangan atau saham deh!

    2. Yakin Kita Gak Perlu Pindah Rumah?

    beli rumah atau ngontrak


    Kenapa kita memutuskan beli rumah di daerah A dan bukan didaerah B? Banyak kan alasannya? Bisa jadi karena kantor kita dekat dengan daerah tersebut, bisa karena dekat dengan rumah orangtua yang semakin uzur, bisa karena anak-anak kita sekolah di daerah tersebut, dan alasan lain-lain yang pokoknya melegitimasi kenapa kita harus beli rumah di daerah tertentu.

    Makanya, kalau ada agen properti ngiklanin rumah pasti ada tulisan "STRATEGIS", dekat dengan pusat perbelanjaan, dekat dengan pintu tol, dekat dengan bandara, dan lain sebagainya--meskipun ngga ada yang nulis DEKAT DENGAN TUHAN atau DEKAT DENGAN JODOH, gatau kenapa.

    Pokoknya, tulisan strategis itu ada untuk menggambarkan bahwa lokasi rumah tersebut menunjang lifestyle kita kedepannya. Dan kita yang merupakan budak-budak gaya hidup ini pasti bakal berpikir "oh besok kalo gue beli rumah disitu, kalo mau kepasar gampang, sekolahan deket, gym deket" dannnn seterusnya gak abis-abis.

    Saya sendiri membeli rumah saya sekarang dengan alasan tidak terlalu jauh dengan kampus, serta dekat dengan ringroad, jadi kalau mau kemana-mana gampang. Tapi ini kan sekarang. Saya nggak jamin 1-2 tahun lagi saya masih akan berangkat ke kampus atau mendapatkan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah. Bisa jadi saya malah akan mendapat kantor yang letaknya belasan bahkan puluhan kilo dari rumah saya kan? Who knows? Kalau sudah begitu apakah saya akan beranggapan bahwa rumah saya MASIH strategis?

    Contoh lain, mungkin sekarang saya kebetulan membeli rumah yang cenderung dekat dengan keluarga pak suami, tapi kalau nanti misalnya terjadi sesuatu *amit-amit jabang bayi, ketok meja 3x*  dengan hubungan rumah tangga kami, apakah saya akan masih menikmati tinggal di dekat keluarga pak suami? kan belum tentu.

    Tapi ya sementara ini tinggal dekat keluarga pak suami lumayan menyenangkan sih, setidaknya ada keluarga yang bisa dijangkau kalau-kalau terjadi apa-apa. Plus, kalo mau pinjem panci, gampang-gampang aja. Kudos!

    3. Cicilan Itu Tidak Boleh Ganggu Budget Hidup Sehari-hari! Pokoknya Nggak Boleh!

    beli rumah atau ngontrak

    Ini khusus bagi yang masih nyicil KPR. Saya sudah berkali-kali meminjamkan uang untuk beberapa teman saya yang hidupnya gali lubang tutup lubang akibat nyicil KPR. Demi membeli rumah (yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya) kadang teman-teman saya bela-belain ngga makan, bela-belain ngga jalan-jalan dan bela-belain yang lain-lain.

    Okelah memang nantinya bank penyelenggara KPR yang akan menentukan apakah dengan gaji kita yang sekian-sekian itu kita layak untuk kredit rumah, tapi apa kita sudah nyiapin tabungan untuk kepentingan yang lain-lain? apakah kita perlu menyesuaikan gaya hidup kita setelah membayar cicilan? Helloooo diingat ya guys, KPR itu ngga hitungan bulan, tapi tahun!!

    Kenapa saya bilang begini? Ini penting. Suka atau tidak suka, sejumlah uang kita akan 'hilang' untuk kepentingan yang lebih besar, yakni menyediakan atap bagi diri kita (dan keluarga, kalau punya). Katakanlah, tadinya kita punya banyak dana cadangan yang siap ditarik kapan saja ketika kita membutuhkan, misalnya pas kita ngga sengaja nabrak mobil orang atau kena tipes akibat kebanyakan jajan di luar. Nah, kalau kita nyicil KPR, pasti kan ada lah sebagian dari dana cadangan ini yang dipake untuk bayar KPR. 

    Kalau sudah begitu mau gimana? Ya, berarti kita harus mengencangkan ikat pinggang sedikit lebih keras, supaya kita bisa menabung sedikit lebih banyak, atau mencari tambahan penghasilan lain.

    4. Beli Rumah, Terus Dikontrakkin, Yakin Nggak Sayang?

    beli rumah atau ngontrak


    Katanya, kalau mau jadi investasi, kita ga perlu tinggal di rumah itu. Cukup kita kontrakin aja si rumah. Well, my friend, satu hal yang saya tidak suka dari mengontrakkan rumah saya: biasanya penyewa tidak merawat si rumah dengan baik. garis bawahi kata biasanya ya, karena saya yakin sebenarnya gak semuanya begitu.

    Hellooo, saya beli rumah mahal-mahal, nyicil susah payah, dan situ udah numpang tinggal ehhh ternyata tangannya 'ngecap' di tembok banyak banget, atau ngerusakin kitchen set, atau nggak pernah ngerawat tanaman didepan rumah sampai rumput gajah aja abis. 

    Belom kalau ternyata setelah dikontrakan, rumah kita ternyata beralih fungsi menjadi kantor. Tembok dipaku dimana-mana, lantai jadi berkerak dan kadang pecah-pecah karena motor pegawai dimasukin rumah. Iyuh! Kesel!

    Pastikan kalau kita memang mau ngontrakin rumah kita, kita menyeleksi si pengontrak. Lebih lagi, peruntukan kontrakan harus jelas fungsi dan gunanya. Tanggung jawab si pengontrak juga harus jelas. Pokoknya ribet, dan inilah alasan kenapa saya males ngontrakin rumah saya, titik.

    5. Kalo Udah Beli, Sempet Gak Ngerawatnya?



    Jujur ya, kalo saya lagi kejar tenggat di kampus atau lagi banyak side-job, rumah saya pasti berubah bentuknya bak rumah hantu, dari lantai yang ketutup debu tebal sampai tempat sampah yang isinya kertas minyak bekas nasi angkringan, pokoknya suram. Kalau udah begini, pengen gak saya beres-beres? Boro-boro beres-beres, yang ada saya pengen kabur aja ke ujung dunia.

    Okelah, sekarang udah gampang, ada jasa bersih-bersih yang dibayar per-kedatangan dan bisa aja saya bayar pembantu; but i'm very concern about my privacy. Bagi saya rumah itu ya tempat saya menjadi diri saya seutuhnya, jadi masalah privasi adalah masalah nomer satu (ini sempat saya permasalahkan ketika pertama kali saya menikah, but that's another story for another time). Gak nyaman dong, kalo ada orang yang gak kita kenal berkeliaran di rumah? Dan saya rasa gak semua orang bisa mengeluarkan uang untuk menggaji ART. Nanti akan saya ceritakan suka-duka 'merawat' ART di rumah.

    Lah, kalau kita wanita independen yang mau menyeimbangkan antara karir dan suami, masa iya kita biarkan pak suami pulang ke rumah yang kotor? Kan lawak. Saya juga sebenarnya ngga mau--apa daya pak suami yang biasanya lebih gercep untuk beres-beres duluan. Simpel ya, saya kesulitan untuk meluangkan 1 hari saja untuk service AC, atau menunggu tukang kebun. Ujung-ujungnya? rumahnya jadi nggak keurus *insert_sad_emoticon_here*



    Ya sebenarnya juga masih ada sisi positifnya punya rumah. At least, saya ngga perlu khawatir bahwa tahun depan saya harus cari kontrakan baru (yang harganya makin melejit juga ternyata, asyem) dan sebusuk-busuknya itu rumah, itu tetap rumah saya, kebanggaan saya, hasil jerih payah dan pengorbanan yang gak abis-abis saya lakukan. Kalau nanti saya punya anak (who knows? who knows?) dan amit-amit jabang bayi saya kenapa-kenapa, setidaknya saya meninggalkan a piece of land yang paling nggak bisa dia jual buat membiayai hidupnya.

    Tapi, di masa sekarang ini dimana ngontrak dan nyewa terlihat lebih membahagiakan karena bebas pikiran (bayangkan ngantri bayar PBB dan nungguin tukang betulin genteng di rumah sementara si pak bos udah rame whatsapp nanyain kerjaan yang belom sempet kita delegate), saya rasa generasi X macam saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di Starbucks dan di kantor daripada di dapur harus mempertimbangkan lagi baik-baik, masihkah kami cocok beli rumah? Atau memang trend investasi properti sudah bergeser dari rumah dan tanah ke Apartment yang lebih maintenance-free? I don't know. We'll see, we'll see.

    Jadi, masih yakin mau beli rumah?

    . Minggu, 02 Oktober 2016 .

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Saya mau memproklamirkan diri sebagai makhluk ter #kerehore se-indonesia raya. Dengan pendapatan pak suami yang maju mundur cantik plus pajak profesi yang mihils plus uang kuliah tunggal yang sukses bikin saya ketar ketir tiap awal semester, saya pun mencoba 'kreatif' mengelola keuangan keluarga. Maklum, pak suami kan dokter hewan dengan jam terbang yang belum terlalu tinggi, jadi penghasilan kami ya masih penghasilan fresh graduate alias UMR.

    Tapi setelah saya renungi (ceileh), ternyata dengan pemasukan pas-pasan yang ketika dipotong biaya listrik saja bisa sukses membuat kami mengencangkan ikat pinggang tiap akhir bulan, saya dan suami bisa dibilang menemukan cara-cara 'nyeleneh' untuk hore-hore. Buktinya? every saturday night is a date night! Inget ya, kere bukan berarti gak bisa hidup bahagia! Camkan itu ibu-ibu! *semangat 45*

    Oya, tips ini mungkin sedikit nyeleneh dan ribet (but aren't we all?) tapi percaya deh, tanpa tips-tips gila ini, mungkin kami ngga akan bisa menabung tiap bulan demi masa depan anak yang masih di awang-awang. Penasaran? Here We Go!

    1. Belanja-lah di kampus. Karena Mahasiswa mostly are cheapskates, and so were we.

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Percaya tidak percaya, segala kebutuhan pokok yang ada di rumah saya beli dari Minimarket Kampus. Kok minimarket kampus?

    Satu, harganya lebih murah dari toko waralaba, dua, kadang ada benda aneh-aneh yang cuma ada di minimarket kampus, misalnya takoyaki super enak harga 3.500 isi 2 atau pizza homemade harga 8 ribu dengan kualitas yang nggak kalah sama chain pizza nasional.

    Salah satu favorit saya adalah Agromartnya Fakultas Peternakan UGM.

    Saya biasa beli telur, sayur, sampai makanan beku disitu. Mozarella Cheese ukuran 10x10cm dengan ketebalan 2cm bisa saya dapatkan hanya dengan 30 ribu saja (kadang bahkan 20 ribu). Aneka macam Yogurt juga bisa saya dapatkan dengan mudah. Pokoknya murah dan gembira. Sisanya bisa beli di pasar sih--walaupun mereka juga menyediakan bahan makanan olahan yang lain.

    Jadi kalo ada yang tanya, kenapa saya bisa masak western food/japanese food hampir tiap hari, nih rahasianya!

    2. Investasi Itu bernama BAWANG dan CABE

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Dulu jaman awal-awal ngekos, saya diberi hadiah ulang tahun berupa kaktus oleh teman-teman kuliah saya. Alasannya karena kaktus jarang mandi (dan demikian pula saya). Hobi memelihara tanaman memang tidak bertahan lama karena kurang dari setahun, si kaktus akhirnya layu. Saya memang nggak bakat berkebun kok Jangankan merawat tanaman, merawat diri sendiri saja jarang! *elus-elus rambut kusut*

    Belakangan kalo liat-liat instagram, saya hobi banget liat urban jungle blog yang isinya rumah-rumah dengan banyak tanaman, terus juga kalo liat youtuber-youtuber luar negeri, banyak yang punya herb garden sendiri di dapurnya. Dari situ, agak ngiri juga sih, kenapa saya ga diberkahi hubungan batiniah yang bagus sama tanaman.

    Alhamdulillah, saya diberi rejeki berupa suami yang hobinya berkebun. Pot-pot yang tadinya saya isi kaktus lucu-lucu berubah menjadi pot berisi bawang (yang kelamaan ditaro dikulkas sampe bertunas), cabe, parsley, wortel dan lain-lain. Pokoknya sayur-sayur yang sehari-hari kami pakai dirumah selalu ada didepan rumah. Hemat, dan jelas, gak perlu pake beli-beli. Pak suami juga happy, tiap pagi dia ngasih makan ayam sambil nyiramin tanaman ala-ala game Harvest Moon. Lumayan, selain hemat bisa buat hiburan juga ternyata.

    3. Layar Tancep is Just One HDMI Cable Away

    hidup bahagia dengan umr

    Hobi saya adalah nonton film. Tapi kalo diturutin semua film saya tonton di bioskop, dunia persilatan bisa bubar jalan. Kok bisa? Karena nonton di bioskop itu mahal. Coba kita itung-itungan yaaa...

    Sekali nonton film di bioskop: 35 ribu. Nonton berdua yaaa 70 ribu.
    Belum sama popcorn endefrey endesbrey anggap lah 25 ribu.
    ongkos parkir 5 ribu (kalo beruntung)
    belum bensin ke bioskopnya.
    Coba ditotal.

    Udah 100 ribu sendiri!!! Bisa buat makan enak tiga hari!!! *insert emot nangis disini* Itu juga kalo 1 film per bulan yang ditonton. Lah saya kan movie junkie, sampai film horror Indonesia yang jalan ceritanya absurd pun kadang saya tonton, just because.

    Solusinya? Banyak ibu-ibu. Jaman sekarang siapa sih yang nggak kenal Netflix, Youtube, Rent Movies di iTunes dan.... streaming (oops!). Ternyata, dengan cara yang benar, kita bisa memanfaatkan gadget kita untuk nonton film meskipun pasti level kepuasannya beda dengan nonton di bioskop.

    Nah berhubung kita juga belom punya uang untuk beli chromecast, smart tv, top box tv dll, jadilah laptop dan ps3 dirumah sebagai TV box kita. Tinggal colok HDMI laptop ke TV dan voila, you got yourself a merry little Layar Tancep. Teman-teman yang lebih advanced ke-layar-tancepannya juga sering cerita soal Miracast, yaitu semacam proyeksi HDMI via wi-fi sehingga kita bisa mindahin proyeksi gambar dari smartphone ke TV atau layar proyektor. Detilnya cari sendiri ya, karena saya juga belum pernah nyoba.

    Jadi, saya modalin aja bayar tagihan internet broadband tiap bulan. Lumayan, selain punya wi-fi unlimited buat browsing, saya juga jadi punya bioskop layar tancep pribadi.

    4. Berburu Diskon, Cashback, Sampai Click-to-get-reward Services

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Jadi, hobi lain saya dan pak suami adalah belanja online. biasanya, untuk mempermudah proses transaksi kami biasa cari di marketplace yang punya fasilitas rekber atau escrow account, misalnya tokopedia, bukalapak, mataharimall, dan lain-lain.

    Tapi jangan salah! biasanya sebelum berbelanja kami akan melakukan riset ekstensif bagaimana caranya mendapatkan diskon di marketplace tersebut. Biasanya sih, yang paling sering kami gunakan adalah website proxy yang menawarkan Cashback semacam Shopback atau website penyedia voucher macam Groupon.

    Cara lainnya adalah dengan menggunakan aplikasi LINE dan mantengin promo dari marketplace tersebut. Beberapa hal yang sukses kami beli dengan diskon dan cashback serta kode-kode voucher adalah kamera (yang sekarang kami pake untuk vlog di youtube), tas, flat shoes, mikroskop kerja pak suami dan masih banyak lagi. Selain untuk mantengin promo dari marketplace, saya juga hobby nungguin voucher promo dari Official Account yang ada di LINE, biasanya sih promo Starbucks. Lumayan kan ngopi-ngopi murah di tempat mahal, hehehe.

    Kalau pak suami lagi hobi dengan click to get reward apps. Jadi kita cuma nge-klik-nge-klik iklan dan dapat uang yang bisa dijadikan pulsa gratis. Lumayan, belakangan desye bisa isi kuota pake pulsa hasil ngeklik-ngeklik iklan tersebut. Pak suami pake app Cashtree yang bisa didownload di Playstore. Kalo mau free credits di Cashtree, kamu bisa klik link refferal ini. Lumayan kaaan?

    5. Biasakan Menyebut bilangan ratusan ribu dengan juta

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Ini adalah kebiasaan saya yang paling dibenci oleh teman-teman saya. Sebagai Ibu Rumah Tangga dan wanita hemat bin independen menjurus ke arah pelit, saya sering mengatakan 500 ribu sebagai Setengah Juta dan 250 ribu sebagai seperempat juta.

    Fungsinya apa ibu-ibu??? Supaya he...mat.

    Coba misalnya, kita mau beli sebuah tas yang harganya 249 ribu rupiah dan uang di kantong kita ada satu juta rupiah. Seandainya kita hanya terbayang "oooh murah ya, cuma 250 ribu..." atau bahkan "oooh 240 ribuan, murah ya??" lenyap deh itu uang, tinggal tersisa 750 ribu rupiah saja.
    Tapi kalo kita membayangkannya, ketika kita punya uang satu juta dan kita hanya akan dapat 4 tas model seperti itu... ooo, tentu pegangan pada dompet akan sedikit lebih kencang dari biasanya yes.

    Contoh lain, pak suami mau cicil motor dengan cicilan 500 ribu satu bulannya. Kalau dengan gaji sekarang tentu enak tinggal bilang "ah cuma 500 ribu ini", tapi kalau ia memvisualisasikan 500 ribu itu dengan setengah juta, pasti rasanya yang keluar akan lebih banyak daripada yang seharusnya.

    Jadi visual itu penting ibu-ibu! Penting! *semangat empat lima*

    6. Gak Usah Kebanyakan Printilan Di Rumah, Pokoknya Gak Usah!!

    hidup bahagia dengan gaji umr


    Masih berhubungan dengan post saya soal Minimalist Living di Indonesia, setelah baca-baca bukunya Marie Kondo, saya jadi percaya lebih sedikit barang yang kita punya, lebih sedikit beban kita. Banyak benda sama dengan banyak maintenance. Kalau kita punya banyak meja, ya berarti kita harus bersihin meja-meja itu. Banyak peralatan elektronik berarti banyak kabel listrik/charger yang harus disimpan sehingga kegiatan beres-beres jadi makin ekstra, terus tagihan listrik juga udah pasti nambah.

    Simpan aja barang-barang yang menurut kita penting dalam hidup kita. Saya pribadi cocok dengan metode KonMari nya Marie Kondo. Setelah mencoba mempelajari cara hidup ala Marie Kondo yang super minimalis, saya merasa lebih sedikit tanggungan yang saya punya.  Kalau nggak penting-penting amat, mending nggak usah punya. Dan jangan sekali-sekali mupeng beli benda-benda yang gak jelas, jangan!! (well, i'm still very guilty about having lots of tea infuser, although I didn't really like tea!)

    hidup bahagia dengan gaji umr



    Memang sih sebagian orang menyatakan gaya hidup kami 'nggak umum' dan 'rusuh', tapi buktinya dengan keenam prinsip yang saya pegang betul ini, kami masih bisa kok makan di luar rumah minimal seminggu sekali. Kami masih bisa menyisihkan sebagian rejeki untuk orang lain yang membutuhkan. Kami pun masih bisa menabung untuk masa depan anak kami yang masih belom dibikin, hahaha.

    Jadi sebenarnya ya bapak-bapak dan ibu-ibu, yang penting itu bukan jumlah uang yang kita miliki, because money will always be a number and number is infinite. Ngga ada abisnya kita mengejar uang. Kalau kata Chuck Palahniuk di fight club, kita mengerjakan pekerjaan yang gak kita sukai supaya kita bisa beli benda-benda yang gak kita butuhkan untuk membuat orang-orang yang kita gak suka kagum sama kita. Dalem, yes?

    Bahagia itu kan intinya sederhana, kita bisa hidup cukup, happy, dan punya waktu untuk diri sendiri. Kalau misalnya sekarang memang kita belum bisa cicil mobil atau cicil mesin cuci, sudahlah jangan dipaksakan. Jangan mengeluarkan uang untuk gaya hidup yang sebenarnya tidak kita butuhkan dan tidak bisa kita bayar. Hiduplah apa adanya. Toh saya kere-kere begini masih bisa hore-hore, ya gak ibu-ibu??

    Yuk saling support untuk bisa hidup lebih bahagia dan berkualitas!