• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.

    [REVIEW] Affliction / Pulang (2020) Movie

    Review Pulang (2020) / Affliction (2020)Kalau kalian mengikuti wattpad saya, pasti tau dong kalo saya tergila-gila sama horor psikologis? Jadi pas tahu Teddy Soeriatmadja bikin film horror psikologis berjudul Pulang--atau judul bahasa inggrisnya Affliction, saya langsung tertarik banget untuk nonton. 

    Secara Badai Pasti Berlalu garapan Teddy Soeriatmadja sempet bikin saya cukup terhemek-hemek, saya jadi kepo, apakah Teddy Soeriatmadja bakal se-OP itu kalo bikin film Horror? 

    Apalagi ini film di rave banget sama kebanyakan reviewer di Twitter karena konon minim jumpscare, bagus banget, mainin mood dan psikologis banget. Langsung saja saya hajar menonton film ini di Netflix. 

    disclaimer: Review ini mengandung Spoiler garis keras! Jangan baca kalau kalian belum nonton filmnya

    Plot Pulang/Affliction (2020)


    Premisnya simple, bercerita soal sepasang suami istri, Nina dan Hasan yang punya personality yang sangat berbeda. Nina yang baru saja kehilangan Ibunya, kedatangan seorang wanita dari kampung Hasan yang mengaku bahwa ia yang merawat Bundanya Hasan selama ini di Kampung. 

    Bundanya Hasan memang hidup sendirian dan punya penyakit Alzheimer yang menyebabkan Nina jadi khawatir. Muncullah wacana untuk memboyong Bundanya Hasan ke Jakarta. Masalahnya, Hasan dan ibunya seolah-olah estranged dan Hasan juga keberatan buat pulang. 

    Nina yang baru kehilangan Ibunya jadi ngotot harus pulang ke Hasan. Akhirnya Hasan dengan reluctant mengiyakan kemauan Nina. Baru sampe ke rumah Bunda, kita langsung disuguhi adegan Bunda mengendap-endap megang pisau sambil mendengar suara-suara yang gak jelas. 

    Latar belakang Bunda yang misterius dan Nina yang keponya maksimal bener-bener sukses bikin penonton jadi serius pengen tahu kenapa Bunda bisa sampe Alzheimer, kenapa perilakunya seperti itu dan ada rahasia apa di rumah itu sampai Bunda nggak bisa meninggalkan rumah tersebut. 

    Pelan-pelan kita dipaksa untuk mengikuti kisah Nina yang ((bertualang)) di rumah Bunda untuk mencari tahu soal rahasia masa lalu Bunda. 

    Tetap Rawan Plothole

    Walau sebenernya film ini punya premise yang bagus, ada banyak hal yang membuat saya kurang nyaman selama menonton film ini. 

    Yang pertama adalah karakter Ibnu Jamil/Hasan yang dicitrakan distant, workaholic, dan lain-lain. Hasan ini ceritanya adalah seorang psikolog anak. Tapi sepanjang film, kita cuma liat Hasan yang asshole bukan Hasan yang distant. 

    Beda ye, orang workaholic sama orang yang berengsek gatau waktu dan tempat. 

    Walhasil meski Hasan adalah salah satu karakter kunci dalam cerita ini, akting Ibnu Jamil jadi kerasa sinetron dan cheesy banget--apalagi ketika disandingkan dengan akting Raihaanun/Nina--yang meski kadang keponya berlebih dan nggak perlu, tapi tetap berasa emosinya. 

    Yang membuat saya kurang nyaman lagi adalah, film ini terasa ingin menduplikasi pola cerita Hereditary dimana idenya adalah hadirnya sebuah keluarga yang distressed, delusional, hingga kita nggak tahu mana yang realitas dan mana yang bukan. Sayangnya eksekusi cerita ini belum dapat memberikan slow paced horror yang diberikan oleh Hereditary. Mungkin karena setting latar ceritanya yang kurang memberikan kesan remote kepada kita semua. 

    Banyak yang bilang film ini mirip dengan Relic. Saya sendiri sudah menonton Relic dan fokus Relic kepada metafora penyakit Alzheimer dan Dementia sebenarnya 'gila' dan horror banget. Sayangnya Pulang terkesan menyuapi penontonnya, jadi penonton juga kurang bisa menyelami karakter Bunda dan penyakitnya. Bahkan fokus disini lebih banyak ke kemampuan Nina untuk ((melihat setan)) daripada ke penyakit Bunda dan penyebabnya

    Karakter anak-anak Nina sendiri terasa seperti tempelan belaka karena fokus tetap ada pada Nina dan Bunda. Padahal jika karakter anak-anak ini bisa digali lebih dalam, saya yakin Pulang bisa menjadi film yang benar-benar luar biasa. Malah ada banyak scene yang terkesan "dilambat-lambatkan" seperti adegan anaknya Nina hilang, adegan ngompol, dan lain sebagainya. 

    Rasa ngeri yang harusnya lahir dari kesan terisolasi pada film-film slow paced horror juga mendadak hilang di third act film ini. Kisah soal masa lalu Hasan dan Bunda juga tidak memberikan kengerian yang berarti. Disini saya cukup kecewa dengan adegan-adegan yang sifatnya flashback karena menurut saya akan jauh lebih seram ketika Nina yang menyusun potongan puzzlenya sendiri. 

    Mungkin karena durasi juga ya, jadi rasa horror dari Pulang kurang nempel di benak saya. typically, film-film Slow-Paced Horror seperti Pulang memang membutuhkan durasi yang panjang sedangkan Pulang sendiri memang bukan film yang panjang

    All in All...

    Teddy Soeriatmadja berusaha banget untuk bisa appeal ke penonton mainstream yang suka dengan genre horror-flicks, sayangnya usaha ini malah membuat filmnya jadi nanggung. Di sisi lain, film ini terlalu slow untuk mainstream horror indonesia, namun juga terlalu easy untuk para veteran penikmat Horror

    Namun tidak tepat juga kalau dibilang film ini tidak bagus. Justru sebaliknya, Pulang menjadi salah satu film horror yang cukup berkesan meskipun endingnya masih terasa stale di lidah. Menurut saya jika cerita hehantuan disini dikurangi malah akan lebih creepy. Belum lagi interaksi keluarga Bunda yang sebenarnya bagus banget jika diulik lebih dalam. 

    Akting Raihanun dan Bunda di film ini harus diacungi empat jempol, karena penggalian karakternya dapet banget. Nina dan Bunda adalah kombo laknat yang bisa bikin kita merasa tidak nyaman saat menonton interaksi mereka. Disisi lain akting Ibnu Jamil jadi berasa kurang dapat mengimbangi, entah karena dialog-dialog yang terasa cetek atau memang konsep detached ini sama sekali nggak didapat oleh karakter Hasan. 

    Tapi serius, interaksi Nina + Bunda berhasil memberikan rasa tidak nyaman yang luar biasa bagi saya, ketakutan sekaligus rasa penasaran Nina berasa real dan meyakinkan. Andai saja film ini bisa menggali lebih banyak interaksi antara Nina dan Bunda, saya yakin Pulang akan menjadi salah satu film horror yang nge-set Benchmark untuk film-film horror lainnya. 

    Affliction bisa kalian tonton di Netflix


    Review Pulang (2020) / Affliction (2020)Kalau kalian mengikuti wattpad saya, pasti tau dong kalo saya tergila-gila sama horor psikologis? Jadi pas tahu Teddy Soeriatmadja bikin film horror psikologis berjudul Pulang--atau judul bahasa inggrisnya Affliction, saya langsung tertarik banget untuk nonton. 

    Secara Badai Pasti Berlalu garapan Teddy Soeriatmadja sempet bikin saya cukup terhemek-hemek, saya jadi kepo, apakah Teddy Soeriatmadja bakal se-OP itu kalo bikin film Horror? 

    Apalagi ini film di rave banget sama kebanyakan reviewer di Twitter karena konon minim jumpscare, bagus banget, mainin mood dan psikologis banget. Langsung saja saya hajar menonton film ini di Netflix. 

    disclaimer: Review ini mengandung Spoiler garis keras! Jangan baca kalau kalian belum nonton filmnya

    Plot Pulang/Affliction (2020)


    Premisnya simple, bercerita soal sepasang suami istri, Nina dan Hasan yang punya personality yang sangat berbeda. Nina yang baru saja kehilangan Ibunya, kedatangan seorang wanita dari kampung Hasan yang mengaku bahwa ia yang merawat Bundanya Hasan selama ini di Kampung. 

    Bundanya Hasan memang hidup sendirian dan punya penyakit Alzheimer yang menyebabkan Nina jadi khawatir. Muncullah wacana untuk memboyong Bundanya Hasan ke Jakarta. Masalahnya, Hasan dan ibunya seolah-olah estranged dan Hasan juga keberatan buat pulang. 

    Nina yang baru kehilangan Ibunya jadi ngotot harus pulang ke Hasan. Akhirnya Hasan dengan reluctant mengiyakan kemauan Nina. Baru sampe ke rumah Bunda, kita langsung disuguhi adegan Bunda mengendap-endap megang pisau sambil mendengar suara-suara yang gak jelas. 

    Latar belakang Bunda yang misterius dan Nina yang keponya maksimal bener-bener sukses bikin penonton jadi serius pengen tahu kenapa Bunda bisa sampe Alzheimer, kenapa perilakunya seperti itu dan ada rahasia apa di rumah itu sampai Bunda nggak bisa meninggalkan rumah tersebut. 

    Pelan-pelan kita dipaksa untuk mengikuti kisah Nina yang ((bertualang)) di rumah Bunda untuk mencari tahu soal rahasia masa lalu Bunda. 

    Tetap Rawan Plothole

    Walau sebenernya film ini punya premise yang bagus, ada banyak hal yang membuat saya kurang nyaman selama menonton film ini. 

    Yang pertama adalah karakter Ibnu Jamil/Hasan yang dicitrakan distant, workaholic, dan lain-lain. Hasan ini ceritanya adalah seorang psikolog anak. Tapi sepanjang film, kita cuma liat Hasan yang asshole bukan Hasan yang distant. 

    Beda ye, orang workaholic sama orang yang berengsek gatau waktu dan tempat. 

    Walhasil meski Hasan adalah salah satu karakter kunci dalam cerita ini, akting Ibnu Jamil jadi kerasa sinetron dan cheesy banget--apalagi ketika disandingkan dengan akting Raihaanun/Nina--yang meski kadang keponya berlebih dan nggak perlu, tapi tetap berasa emosinya. 

    Yang membuat saya kurang nyaman lagi adalah, film ini terasa ingin menduplikasi pola cerita Hereditary dimana idenya adalah hadirnya sebuah keluarga yang distressed, delusional, hingga kita nggak tahu mana yang realitas dan mana yang bukan. Sayangnya eksekusi cerita ini belum dapat memberikan slow paced horror yang diberikan oleh Hereditary. Mungkin karena setting latar ceritanya yang kurang memberikan kesan remote kepada kita semua. 

    Banyak yang bilang film ini mirip dengan Relic. Saya sendiri sudah menonton Relic dan fokus Relic kepada metafora penyakit Alzheimer dan Dementia sebenarnya 'gila' dan horror banget. Sayangnya Pulang terkesan menyuapi penontonnya, jadi penonton juga kurang bisa menyelami karakter Bunda dan penyakitnya. Bahkan fokus disini lebih banyak ke kemampuan Nina untuk ((melihat setan)) daripada ke penyakit Bunda dan penyebabnya

    Karakter anak-anak Nina sendiri terasa seperti tempelan belaka karena fokus tetap ada pada Nina dan Bunda. Padahal jika karakter anak-anak ini bisa digali lebih dalam, saya yakin Pulang bisa menjadi film yang benar-benar luar biasa. Malah ada banyak scene yang terkesan "dilambat-lambatkan" seperti adegan anaknya Nina hilang, adegan ngompol, dan lain sebagainya. 

    Rasa ngeri yang harusnya lahir dari kesan terisolasi pada film-film slow paced horror juga mendadak hilang di third act film ini. Kisah soal masa lalu Hasan dan Bunda juga tidak memberikan kengerian yang berarti. Disini saya cukup kecewa dengan adegan-adegan yang sifatnya flashback karena menurut saya akan jauh lebih seram ketika Nina yang menyusun potongan puzzlenya sendiri. 

    Mungkin karena durasi juga ya, jadi rasa horror dari Pulang kurang nempel di benak saya. typically, film-film Slow-Paced Horror seperti Pulang memang membutuhkan durasi yang panjang sedangkan Pulang sendiri memang bukan film yang panjang

    All in All...

    Teddy Soeriatmadja berusaha banget untuk bisa appeal ke penonton mainstream yang suka dengan genre horror-flicks, sayangnya usaha ini malah membuat filmnya jadi nanggung. Di sisi lain, film ini terlalu slow untuk mainstream horror indonesia, namun juga terlalu easy untuk para veteran penikmat Horror

    Namun tidak tepat juga kalau dibilang film ini tidak bagus. Justru sebaliknya, Pulang menjadi salah satu film horror yang cukup berkesan meskipun endingnya masih terasa stale di lidah. Menurut saya jika cerita hehantuan disini dikurangi malah akan lebih creepy. Belum lagi interaksi keluarga Bunda yang sebenarnya bagus banget jika diulik lebih dalam. 

    Akting Raihanun dan Bunda di film ini harus diacungi empat jempol, karena penggalian karakternya dapet banget. Nina dan Bunda adalah kombo laknat yang bisa bikin kita merasa tidak nyaman saat menonton interaksi mereka. Disisi lain akting Ibnu Jamil jadi berasa kurang dapat mengimbangi, entah karena dialog-dialog yang terasa cetek atau memang konsep detached ini sama sekali nggak didapat oleh karakter Hasan. 

    Tapi serius, interaksi Nina + Bunda berhasil memberikan rasa tidak nyaman yang luar biasa bagi saya, ketakutan sekaligus rasa penasaran Nina berasa real dan meyakinkan. Andai saja film ini bisa menggali lebih banyak interaksi antara Nina dan Bunda, saya yakin Pulang akan menjadi salah satu film horror yang nge-set Benchmark untuk film-film horror lainnya. 

    Affliction bisa kalian tonton di Netflix


    . Minggu, 28 Februari 2021 .

    3 komentar

    1. Aku belum nonton filmnya jadi aku gak baca reviewnya. Aku nontonin trailer-nya aja. Hihihi.

      BalasHapus
    2. udah aku check list di Netflix tapi sampe sekarang belum ada keberanian buat nonton :(

      BalasHapus
    3. Coba cari filmnya jadi penasaran

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69