• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.

    Jerat Candu: Apa Yang Tidak Kita Bicarakan Soal Narkoba Dan Kecanduannya


    Waktu saya menulis postingan ini, saya sedang berada di sebuah hotel di Kota Jepara--sangat jauh dari rumah, tapi tidak membuat saya jauh dari beberapa kenangan soal rumah.

    Kenangan-kenangan itu yang mau saya bagikan dalam postingan ini. 




    Saya ingat, kala itu saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Pagi itu, seekor kelinci besar berbulu hitam tebal melompat-lompat kecil di ruang makan saya. Pintu ruang makan hari itu terbuka. Saya mengintip keluar, didepan pagar berdiri seorang remaja kurus seumur kakak saya. 

    Kami bertatapan, dia melengos, saya berlari kedalam rumah. Remaja itu tinggal diseberang rumah saya; sebut saja namanya D. Ibu melarang kami untuk bergaul dengan D dan teman-temannya; konon katanya, D adalah pemakai narkoba. 

    Di awal tahun 2000, isu narkoba adalah isu yang sangat hangat untuk diperbincangkan. Saya dilarang membeli pulpen harum (padahal bisa saja tintanya dicampur dengan parfum), juga dilarang untuk menerima barang pemberian orang tak dikenal, apalagi om-om mencurigakan yang menunggu didepan gerbang sekolah sambil berbisik, "psst, dek, dek... mau permen nggak?"

    Isu narkoba tidak jauh dari lingkungan tempat tinggal kami yang secluded di ujung timur jakarta. belasan satpam yang berganti shift tiap hari tidak membuat kompleks kami aman dari peredaran narkoba. Setidaknya ada empat sampai lima remaja yang sudah teridentifikasi memakai narkoba. 

    Kami tidak bisa apa-apa. Keluarga mereka pun juga tidak bisa apa-apa.

    Kembali lagi ke pagi itu, saya berlari memanggil ibu saya. Kami semua terdiam memandang kelinci itu. Belakangan saya tau si kelinci itu lepas saat 'dicuri' oleh D; padahal itu kelinci kakaknya sendiri.

    Sayapun belakangan tahu kalau keluarga D habis-habisan berusaha membuat D berhenti menggunakan narkoba. Segala terapi dan pusat rehabilitasi sudah mereka sambangi tapi D tak kunjung berhenti menggunakan narkoba. Celakanya, D mulai mencuri. Segala hal yang bisa dia curi akan dia ambil dan dia jual untuk membeli narkoba.

    Empat tahun kemudian, D ditemukan overdosis dirumahnya. Saya masih mengingat wajah keluarga D yang nampak begitu berduka.

    baca juga pengalaman saya melawan depresi



    Kasus D Bukanlah Kasus Narkoba Terakhir Yang Ada di Sekitar Saya

    Tahun 2009, saya kehilangan salah satu sahabat saya; AO karena komplikasi yang disebabkan oleh virus HIV-AIDS. Virus ini ia dapatkan karena ia sering menggunakan jarum suntik berganti-gantian dengan teman-temannya yang lain. Iya, AO juga seorang pengguna. Saya menyaksikan tubuh gempalnya menyusut hingga tinggal tulang dan kulit. It breaks my heart to see one of my bestfriend suffer. 

    Saya ingat betul genggaman tangan ibu AO dan isakannya di hari pemakaman AO. Tidak banyak yang datang, karena selain teman-teman pemakainya; AO tak punya banyak teman. Keluarga pun sudah menjauh karena jengah dikaitkan dengan aktivitas junkie yang almarhum lakukan. 

    "Tante sedih, tapi tante juga lega," ungkapnya pada saya, "setidaknya AO sudah nggak menderita lagi,"

    Saya menatap gundukan tanah yang masih merah itu dengan pilu. Saya tak kuasa mencegah pergaulan AO, bahkan meninggalkan dia saat dia terjerat barang haram tersebut. Saya cari aman--karena saya tahu; sekali kamu 'make' maka kamu tidak akan lepas. Saya baru menemuinya berbulan-bulan kemudian, saat saya mengetahui kondisi AO yang sudah sangat final.

    Will things turned out differently if i didn't run away?

    AO bukan satu-satunya teman saya yang 'pergi' karena narkoba. Saya sudah kehilangan beberapa teman dan anggota keluarga; baik yang mengenal saya dengan dalam--maupun yang sekedar lewat dalam kehidupan--karena narkoba. 

    Tidak semuanya berakhir setragis AO, tapi saya melihat mereka semua hancur perlahan. Menyaksikan mereka rapuh seperti isi organ dalam mereka terurai perlahan. Hidup tapi tak benar-benar hidup, seperti layaknya mayat berjalan.

    Ada yang mulai mencuri demi heroin, ada pula yang tidak bisa tidur tanpa menenggak beberapa butir pil yang entah apa. Ada yang berbagi lintingan diam-diam hingga tertangkap polisi, dan pahitnya, saya cuma bisa menyaksikan itu semua dalam diam. You can't save everyone.



    Narkoba Di Era Digital--Bukan Isu Basi

    Saya tahu saya seharusnya menulis reportasi soal forum komunikasi netizen dengan BNNK Sleman kemarin, tapi saya merasa harus bercerita dulu mengenai jahatnya narkoba terhadap keluarga kita.

    Ada sebuah penelitian bahwa di tahun 2016, Yogyakarta merupakan daerah dengan peredaran narkoba terbesar di Indonesia. Angka tersebut menurun dengan drastis di tahun 2018, dimana Yogyakarta menempati peringkat 31 untuk peredaran narkoba. But still, we're facing a crisis.


    Ibu AKBP Siti Alfiah S.Psi, S.H., M.H, Kepala BNNK Sleman berbagi soal pengalamannya memberantas narkoba


    Saya merinding mendengar cerita dari Ibu AKBP Siti Alfiah S.Psi, S.H., M.H., selaku kepala BNNK Sleman. Beliau sedang mengisi sosialisasi narkoba untuk SD di salah satu desa dan menemukan bahwa anak-anak di desa tersebut akrab dengan 'pil sapi'--salah satu istilah aparat untuk obat penenang yang sering disalahgunakan oleh para pecandu--karena dijual di warung, bahkan mereka tahu bagaimana rasanya.

    Ya, sasaran para pengedar tidak lagi masyarakat sophisticated perkotaan melainkan juga masyarakat desa yang kita kira 'adem ayem' saja. Sungguh aneh rasanya membayangkan anak-anak di desa yang biasanya bermain layangan dan gundu kini malah bertaruh nyawa dengan obat terlarang.

    Bahkan ada banyak sekali "influencer" muda yang bertingkah seolah-olah menggunakan narkoba itu keren, bahwa getting high/fly is so cool and hip. Percayalah sama saya, semua itu nggak banget. Sekarang kamu bisa relaks karena menggunakan obat terlarang, tapi sesudahnya? you'll feel worse, trust me.

    Jadi kalo kalian liat ada selebgram dan influencer yang bertingkah seolah-olah 'make' dan getting high itu keren... you know where the report button is. 

    Kemarin saat acara saya sempat livetweet dengan tagar #jogjakutanpanarkoba dan banyak sekali netizen yang bereaksi mengenai peredaran narkoba di yogyakarta. Bahkan ada teman saya yang mengirim DM bahwa saat ini sudah ada orang-orang yang menjajakan narkoba via sosial media!!

    Masalahnya di jogja yang konon adalah kota pelajar dan mahasiswa, peredaran narkoba bukan hal yang dapat diremehkan. Ibu Siti Alfiah bercerita bagaimana semua kampus di Jogja telah terinfiltrasi perdagangan narkoba, tidak peduli kampus negeri maupun swasta. Permasalahannya, tidak semua mahasiswa dan pelajar yang memakai itu sadar betul akan bahayanya.

    Ada banyak mitos menyesatkan seputar Narkoba. Misalnya saja; ada yang bilang tidak semua narkoba itu berbahaya--sejujurnya, semua narkoba itu berbahaya. Atau ada yang bilang kan yang makai saya dan tidak ngajak-ngajak, jadi tidak merugikan! padahal kalo mereka kenapa-kenapa baik lingkungan, keluarga dan teman-temannya juga jadi rugi.

    Lo kira nganter lo pas sakaw ke rumah sakit itu nggak pake duit? Ngubur mayat yang OD nggak perlu orang gitu?


    Bagaimana Jika Di Lingkungan Kita Ada Yang Menggunakan Narkoba?

    Jawabannya simpel. Laporkan ke BNN agar bisa di rehab. Penjara itu tidak akan menyelesaikan masalah karena seperti yang kita tonton di TV malah ada pengedar yang bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik tembok penjara.

    Kalau kita/pengguna lapor ke BNN maka sanksinya bukan penjara melainkan rehabilitasi sedangkan kalo kita lapornya ke kepolisian maka sanksinya adalah tindak pidana. BNN punya kewenangan untuk merehabilitasi pengguna narkoba. 

    Jangan segan-segan untuk meminta informasi maupun melapor kepada BNN, karena keberadaan BNN seharusnya sebagai mitra masyarakat dan bukan musuh yang harus ditakuti. Jadi kalo malem-malem di kosan kamu ada razia BNN, nggak usah khawatir, lagipula kalo memang kita bersih dan tidak menggunakan narkoba, buat apa takut?

    Ketergantungan narkoba itu sangat sulit dihentikan karena sifatnya yang adiktif. Proses rehabilitasi juga tidak sederhana sehingga kita tidak bisa langsung lega begitu proses rehabilitasi berakhir. Yang terpenting adalah selalu mendampingi rekan-rekan kita agar tidak kembali terjerumus kedalam adiksi narkoba. 

    Hidup dengan pecandu dan mantan pecandu itu berat sekali, maka dari itu jangan sampai kita malah menjadikan narkoba sebagai pelarian. Selain menghabiskan uang, obviously, kondisi fisik dan psikis kita juga akan semakin lemah. Kita akan semakin terbiasa dan tergantung pada narkoba untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan dasar dalam kehidupan. 

    Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana teman-teman saya satu persatu "hilang" karena menggunakan obat-obatan terlarang. Bagaimana kegiatan yang awalnya coba-coba berakhir tragis, entah oleh overdosis atau dengan puluhan bahkan ratusan trip ke IGD. Saya tahu ada yang salah dengan pergaulan saya saat itu; tapi saya tidak tahu bagaimana harus bertindak sehingga saya melakukan the only thing i can think of: RUN.

    Seandainya saya tahu informasi-informasi ini dijaman dulu mungkin nyawa AO masih bisa terselamatkan. 

    Saya memang tidak dapat menyelamatkan nyawa teman saya, tapi saya berharap kamu-kamu bisa menyebarkan info penting mengenai bahaya narkoba kepada lingkunganmu dan menyelamatkan orang-orang disekitarmu dari bahaya narkoba.

    Let's stay clean until our last day in earth. 



    P.S: last pic, me proudly supporting anti drugs and substance abuse campaign.

    Waktu saya menulis postingan ini, saya sedang berada di sebuah hotel di Kota Jepara--sangat jauh dari rumah, tapi tidak membuat saya jauh dari beberapa kenangan soal rumah.

    Kenangan-kenangan itu yang mau saya bagikan dalam postingan ini. 




    Saya ingat, kala itu saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Pagi itu, seekor kelinci besar berbulu hitam tebal melompat-lompat kecil di ruang makan saya. Pintu ruang makan hari itu terbuka. Saya mengintip keluar, didepan pagar berdiri seorang remaja kurus seumur kakak saya. 

    Kami bertatapan, dia melengos, saya berlari kedalam rumah. Remaja itu tinggal diseberang rumah saya; sebut saja namanya D. Ibu melarang kami untuk bergaul dengan D dan teman-temannya; konon katanya, D adalah pemakai narkoba. 

    Di awal tahun 2000, isu narkoba adalah isu yang sangat hangat untuk diperbincangkan. Saya dilarang membeli pulpen harum (padahal bisa saja tintanya dicampur dengan parfum), juga dilarang untuk menerima barang pemberian orang tak dikenal, apalagi om-om mencurigakan yang menunggu didepan gerbang sekolah sambil berbisik, "psst, dek, dek... mau permen nggak?"

    Isu narkoba tidak jauh dari lingkungan tempat tinggal kami yang secluded di ujung timur jakarta. belasan satpam yang berganti shift tiap hari tidak membuat kompleks kami aman dari peredaran narkoba. Setidaknya ada empat sampai lima remaja yang sudah teridentifikasi memakai narkoba. 

    Kami tidak bisa apa-apa. Keluarga mereka pun juga tidak bisa apa-apa.

    Kembali lagi ke pagi itu, saya berlari memanggil ibu saya. Kami semua terdiam memandang kelinci itu. Belakangan saya tau si kelinci itu lepas saat 'dicuri' oleh D; padahal itu kelinci kakaknya sendiri.

    Sayapun belakangan tahu kalau keluarga D habis-habisan berusaha membuat D berhenti menggunakan narkoba. Segala terapi dan pusat rehabilitasi sudah mereka sambangi tapi D tak kunjung berhenti menggunakan narkoba. Celakanya, D mulai mencuri. Segala hal yang bisa dia curi akan dia ambil dan dia jual untuk membeli narkoba.

    Empat tahun kemudian, D ditemukan overdosis dirumahnya. Saya masih mengingat wajah keluarga D yang nampak begitu berduka.

    baca juga pengalaman saya melawan depresi



    Kasus D Bukanlah Kasus Narkoba Terakhir Yang Ada di Sekitar Saya

    Tahun 2009, saya kehilangan salah satu sahabat saya; AO karena komplikasi yang disebabkan oleh virus HIV-AIDS. Virus ini ia dapatkan karena ia sering menggunakan jarum suntik berganti-gantian dengan teman-temannya yang lain. Iya, AO juga seorang pengguna. Saya menyaksikan tubuh gempalnya menyusut hingga tinggal tulang dan kulit. It breaks my heart to see one of my bestfriend suffer. 

    Saya ingat betul genggaman tangan ibu AO dan isakannya di hari pemakaman AO. Tidak banyak yang datang, karena selain teman-teman pemakainya; AO tak punya banyak teman. Keluarga pun sudah menjauh karena jengah dikaitkan dengan aktivitas junkie yang almarhum lakukan. 

    "Tante sedih, tapi tante juga lega," ungkapnya pada saya, "setidaknya AO sudah nggak menderita lagi,"

    Saya menatap gundukan tanah yang masih merah itu dengan pilu. Saya tak kuasa mencegah pergaulan AO, bahkan meninggalkan dia saat dia terjerat barang haram tersebut. Saya cari aman--karena saya tahu; sekali kamu 'make' maka kamu tidak akan lepas. Saya baru menemuinya berbulan-bulan kemudian, saat saya mengetahui kondisi AO yang sudah sangat final.

    Will things turned out differently if i didn't run away?

    AO bukan satu-satunya teman saya yang 'pergi' karena narkoba. Saya sudah kehilangan beberapa teman dan anggota keluarga; baik yang mengenal saya dengan dalam--maupun yang sekedar lewat dalam kehidupan--karena narkoba. 

    Tidak semuanya berakhir setragis AO, tapi saya melihat mereka semua hancur perlahan. Menyaksikan mereka rapuh seperti isi organ dalam mereka terurai perlahan. Hidup tapi tak benar-benar hidup, seperti layaknya mayat berjalan.

    Ada yang mulai mencuri demi heroin, ada pula yang tidak bisa tidur tanpa menenggak beberapa butir pil yang entah apa. Ada yang berbagi lintingan diam-diam hingga tertangkap polisi, dan pahitnya, saya cuma bisa menyaksikan itu semua dalam diam. You can't save everyone.



    Narkoba Di Era Digital--Bukan Isu Basi

    Saya tahu saya seharusnya menulis reportasi soal forum komunikasi netizen dengan BNNK Sleman kemarin, tapi saya merasa harus bercerita dulu mengenai jahatnya narkoba terhadap keluarga kita.

    Ada sebuah penelitian bahwa di tahun 2016, Yogyakarta merupakan daerah dengan peredaran narkoba terbesar di Indonesia. Angka tersebut menurun dengan drastis di tahun 2018, dimana Yogyakarta menempati peringkat 31 untuk peredaran narkoba. But still, we're facing a crisis.


    Ibu AKBP Siti Alfiah S.Psi, S.H., M.H, Kepala BNNK Sleman berbagi soal pengalamannya memberantas narkoba


    Saya merinding mendengar cerita dari Ibu AKBP Siti Alfiah S.Psi, S.H., M.H., selaku kepala BNNK Sleman. Beliau sedang mengisi sosialisasi narkoba untuk SD di salah satu desa dan menemukan bahwa anak-anak di desa tersebut akrab dengan 'pil sapi'--salah satu istilah aparat untuk obat penenang yang sering disalahgunakan oleh para pecandu--karena dijual di warung, bahkan mereka tahu bagaimana rasanya.

    Ya, sasaran para pengedar tidak lagi masyarakat sophisticated perkotaan melainkan juga masyarakat desa yang kita kira 'adem ayem' saja. Sungguh aneh rasanya membayangkan anak-anak di desa yang biasanya bermain layangan dan gundu kini malah bertaruh nyawa dengan obat terlarang.

    Bahkan ada banyak sekali "influencer" muda yang bertingkah seolah-olah menggunakan narkoba itu keren, bahwa getting high/fly is so cool and hip. Percayalah sama saya, semua itu nggak banget. Sekarang kamu bisa relaks karena menggunakan obat terlarang, tapi sesudahnya? you'll feel worse, trust me.

    Jadi kalo kalian liat ada selebgram dan influencer yang bertingkah seolah-olah 'make' dan getting high itu keren... you know where the report button is. 

    Kemarin saat acara saya sempat livetweet dengan tagar #jogjakutanpanarkoba dan banyak sekali netizen yang bereaksi mengenai peredaran narkoba di yogyakarta. Bahkan ada teman saya yang mengirim DM bahwa saat ini sudah ada orang-orang yang menjajakan narkoba via sosial media!!

    Masalahnya di jogja yang konon adalah kota pelajar dan mahasiswa, peredaran narkoba bukan hal yang dapat diremehkan. Ibu Siti Alfiah bercerita bagaimana semua kampus di Jogja telah terinfiltrasi perdagangan narkoba, tidak peduli kampus negeri maupun swasta. Permasalahannya, tidak semua mahasiswa dan pelajar yang memakai itu sadar betul akan bahayanya.

    Ada banyak mitos menyesatkan seputar Narkoba. Misalnya saja; ada yang bilang tidak semua narkoba itu berbahaya--sejujurnya, semua narkoba itu berbahaya. Atau ada yang bilang kan yang makai saya dan tidak ngajak-ngajak, jadi tidak merugikan! padahal kalo mereka kenapa-kenapa baik lingkungan, keluarga dan teman-temannya juga jadi rugi.

    Lo kira nganter lo pas sakaw ke rumah sakit itu nggak pake duit? Ngubur mayat yang OD nggak perlu orang gitu?


    Bagaimana Jika Di Lingkungan Kita Ada Yang Menggunakan Narkoba?

    Jawabannya simpel. Laporkan ke BNN agar bisa di rehab. Penjara itu tidak akan menyelesaikan masalah karena seperti yang kita tonton di TV malah ada pengedar yang bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik tembok penjara.

    Kalau kita/pengguna lapor ke BNN maka sanksinya bukan penjara melainkan rehabilitasi sedangkan kalo kita lapornya ke kepolisian maka sanksinya adalah tindak pidana. BNN punya kewenangan untuk merehabilitasi pengguna narkoba. 

    Jangan segan-segan untuk meminta informasi maupun melapor kepada BNN, karena keberadaan BNN seharusnya sebagai mitra masyarakat dan bukan musuh yang harus ditakuti. Jadi kalo malem-malem di kosan kamu ada razia BNN, nggak usah khawatir, lagipula kalo memang kita bersih dan tidak menggunakan narkoba, buat apa takut?

    Ketergantungan narkoba itu sangat sulit dihentikan karena sifatnya yang adiktif. Proses rehabilitasi juga tidak sederhana sehingga kita tidak bisa langsung lega begitu proses rehabilitasi berakhir. Yang terpenting adalah selalu mendampingi rekan-rekan kita agar tidak kembali terjerumus kedalam adiksi narkoba. 

    Hidup dengan pecandu dan mantan pecandu itu berat sekali, maka dari itu jangan sampai kita malah menjadikan narkoba sebagai pelarian. Selain menghabiskan uang, obviously, kondisi fisik dan psikis kita juga akan semakin lemah. Kita akan semakin terbiasa dan tergantung pada narkoba untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan dasar dalam kehidupan. 

    Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana teman-teman saya satu persatu "hilang" karena menggunakan obat-obatan terlarang. Bagaimana kegiatan yang awalnya coba-coba berakhir tragis, entah oleh overdosis atau dengan puluhan bahkan ratusan trip ke IGD. Saya tahu ada yang salah dengan pergaulan saya saat itu; tapi saya tidak tahu bagaimana harus bertindak sehingga saya melakukan the only thing i can think of: RUN.

    Seandainya saya tahu informasi-informasi ini dijaman dulu mungkin nyawa AO masih bisa terselamatkan. 

    Saya memang tidak dapat menyelamatkan nyawa teman saya, tapi saya berharap kamu-kamu bisa menyebarkan info penting mengenai bahaya narkoba kepada lingkunganmu dan menyelamatkan orang-orang disekitarmu dari bahaya narkoba.

    Let's stay clean until our last day in earth. 



    P.S: last pic, me proudly supporting anti drugs and substance abuse campaign.
    . Minggu, 09 Desember 2018 .

    3 komentar

    1. Ceritanya menyentuh banget Mba. Bagus, ngga ngebosenin, dan mengena. Sedih juga ya gara2 narkoba banyak orang jadi kehilangan dirinya sampai sakit dan meninggal.

      BalasHapus
    2. Sedih ya mb, kl melihat orang terdekat kita "pergi" secara perlahan tanpa kita bisa berbuat apa2...😢

      BalasHapus
    3. Kisah D bukan yang terakhir terjadi di lingkungan Kakak dan juga di Indonesia. Masih banyak; dari yang saya baca di berbagai media (maklum, tidak menonton televisi) hehehe. Semoga saya bisa melakukannya, seandaianya ada pemakai, bisa melapor ke BNN.

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69