• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.
    Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

    Wahai Generasi Milenial, Masih Yakin Mau Beli Rumah?

    beli rumah atau ngontrak

    Waktu saya kecil, orangtua saya selalu bicara soal investasi properti layaknya dewa-dewi di kahyangan. Pokoknya, investasi yang paling bener adalah beli rumah atau tanah. Reksadana, deposito, saham, forex dan lain-lain cuma sementara, sedang yang paling oke adalah punya rumah, tanah dan sawah. Pokoknya, pokoknya dan pokoknya.

    Inilah salah satu alasan saya ujug-ujug membeli rumah di awal usia 20an. Waktu itu bayangan saya (yang super-duper-naif) adalah: kita punya uang, kita nggak mau hidup susah di rumah mertua, kita beli rumah. Simpel ya? Padahal saya sendiri waktu itu ngga kepikir untuk menikah sama sekali lho, hehehe.

    Jadilah saya beli rumah di pinggiran kabupaten Sleman, padahal KTP saya masih KTP Jakarta. Waktu itu yang saya beli adalah rumah tipe 45 dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Sedikit besar untuk starter home, tapi cukup untuk kalau-kalau saya jadi berkeluarga (yang mana waktu itu saya dismiss dengan alasan kamar itu untuk orang tua, saya dan satu orang pembantu).

    beli rumah atau ngontrak


    Sekarang, beberapa tahun kemudian, rasanya agak-agak menyesal juga saya ujug-ujug beli rumah. Perawatan rumah itu ternyata jauh lebih mahal dari yang saya bayangkan dan ujung-ujungnya, saya tinggal di rumah itu sendirian. Memang sih, bisa saja saya jual lagi rumah itu dengan harga yang lebih tinggi ketimbang waktu saya membelinya, apalagi waktu itupun saya beli rumah dengan pembayaran cash. 

    Lho kok menyesal? Gak bersyukur amat! Mungkin begitu yang orang-orang pikirkan ketika membaca tulisan saya ini.

    Saya bukan financial planner yang punya ilmu ekonomi, jadi mungkin tulisan saya ini akan sangat nggak make sense dari segi ekonomi. I know zero shit about this whole property investment. Latar belakang keilmuan saya nggak bisa menjelaskan kenapa saya punya love-hate relationship sama rumah saya--yang mana dulu pernah saya ceritakan di post saya yang berbahasa inggris, dan saya yakin gak cuma saya yang bimbang bin galau kaya gini.

    Satu yang saya tahu, ini adalah sebagian hal yang membuat saya punya pikiran bahwa beli rumah bukanlah investasi yang paling baik buat semua orang. It's a good investment, but not for everyone.  Nah terus kenapa saya bisa mikir begitu?

    1. Beli Rumah Itu Mahal, dan Apakah Pasti Balik Modal?

    Banyak orang yang berpikir bahwa kalau kita beli rumah, nanti suatu saat kalau kita tak lagi nyaman berada di rumah itu kita bisa langsung menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Eits, nanti dulu!

    beli rumah atau ngontrak


    Kalau saya boleh jujur, saya paling kepikiran soal inflasi. Inflasi itu gampangnya adalah proses meningkatnya harga komoditas secara umum dan terus menerus. Misalnya, hari ini kita bisa membeli sebuah rumah dengan harga 300 juta, dan dalam empat tahun kita menjual rumah itu dengan harga 500 juta, TAPI, uang 500 juta pada masa itu senilai dengan 300 juta di empat tahun yang lalu, itu artinya kita tidak betul-betul mendapat keuntungan dari menjual rumah tersebut. Kita simply hanya mendapatkan 300 juta kita lagi. Kalau begitu, kan namanya ngga dapet untung?

    Itu saya belum ngitung kalau rumah sempat dicat ulang, atau sempat bikin built in wardrobe dan kitchen set, atau malah menambah fitur ini itu untuk si rumah yang ngga mungkin diajak ke rumah baru, macam kolam renang atau water heater tenaga surya. Belum lagi uang yang sudah kita keluarkan untuk pajak bumi dan bangunan selama kita tinggal, biaya notaris waktu jual beli rumah, biaya ini itu yang keluar selama kita punya rumah itu, dan masih banyak lagi. Nah cus itung sendiri deh!

    Padahal saya yakin, tidak semua orang beli rumah dengan uang tunai. Ada yang harus mencicil KPR atau pinjaman dengan bunga sekian-sekian yang menjadikan si rumah sebenarnya lebih mahal karena kita bayarin si bunga dan si komisi. Kalau sudah begitu, kan kita harus itung-itungan, sebenarnya untung-rugi kita jual beli rumah itu seperti apa. Dan ini bukan bidang saya yaaaa, karena saya disini cuma curhat aja, hihihi.

    Jadi, belilah rumah ketika kita yakin kita akan memanfaatkan si rumah dalam jangka panjang (kalau perlu seumur hidup), sehingga kita bisa memanfaatkan nilai ekonomis si rumah selama-lamanya. Kalau masih pengen beli-jual beli-jual, mending kita beli emas batangan atau saham deh!

    2. Yakin Kita Gak Perlu Pindah Rumah?

    beli rumah atau ngontrak


    Kenapa kita memutuskan beli rumah di daerah A dan bukan didaerah B? Banyak kan alasannya? Bisa jadi karena kantor kita dekat dengan daerah tersebut, bisa karena dekat dengan rumah orangtua yang semakin uzur, bisa karena anak-anak kita sekolah di daerah tersebut, dan alasan lain-lain yang pokoknya melegitimasi kenapa kita harus beli rumah di daerah tertentu.

    Makanya, kalau ada agen properti ngiklanin rumah pasti ada tulisan "STRATEGIS", dekat dengan pusat perbelanjaan, dekat dengan pintu tol, dekat dengan bandara, dan lain sebagainya--meskipun ngga ada yang nulis DEKAT DENGAN TUHAN atau DEKAT DENGAN JODOH, gatau kenapa.

    Pokoknya, tulisan strategis itu ada untuk menggambarkan bahwa lokasi rumah tersebut menunjang lifestyle kita kedepannya. Dan kita yang merupakan budak-budak gaya hidup ini pasti bakal berpikir "oh besok kalo gue beli rumah disitu, kalo mau kepasar gampang, sekolahan deket, gym deket" dannnn seterusnya gak abis-abis.

    Saya sendiri membeli rumah saya sekarang dengan alasan tidak terlalu jauh dengan kampus, serta dekat dengan ringroad, jadi kalau mau kemana-mana gampang. Tapi ini kan sekarang. Saya nggak jamin 1-2 tahun lagi saya masih akan berangkat ke kampus atau mendapatkan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah. Bisa jadi saya malah akan mendapat kantor yang letaknya belasan bahkan puluhan kilo dari rumah saya kan? Who knows? Kalau sudah begitu apakah saya akan beranggapan bahwa rumah saya MASIH strategis?

    Contoh lain, mungkin sekarang saya kebetulan membeli rumah yang cenderung dekat dengan keluarga pak suami, tapi kalau nanti misalnya terjadi sesuatu *amit-amit jabang bayi, ketok meja 3x*  dengan hubungan rumah tangga kami, apakah saya akan masih menikmati tinggal di dekat keluarga pak suami? kan belum tentu.

    Tapi ya sementara ini tinggal dekat keluarga pak suami lumayan menyenangkan sih, setidaknya ada keluarga yang bisa dijangkau kalau-kalau terjadi apa-apa. Plus, kalo mau pinjem panci, gampang-gampang aja. Kudos!

    3. Cicilan Itu Tidak Boleh Ganggu Budget Hidup Sehari-hari! Pokoknya Nggak Boleh!

    beli rumah atau ngontrak

    Ini khusus bagi yang masih nyicil KPR. Saya sudah berkali-kali meminjamkan uang untuk beberapa teman saya yang hidupnya gali lubang tutup lubang akibat nyicil KPR. Demi membeli rumah (yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya) kadang teman-teman saya bela-belain ngga makan, bela-belain ngga jalan-jalan dan bela-belain yang lain-lain.

    Okelah memang nantinya bank penyelenggara KPR yang akan menentukan apakah dengan gaji kita yang sekian-sekian itu kita layak untuk kredit rumah, tapi apa kita sudah nyiapin tabungan untuk kepentingan yang lain-lain? apakah kita perlu menyesuaikan gaya hidup kita setelah membayar cicilan? Helloooo diingat ya guys, KPR itu ngga hitungan bulan, tapi tahun!!

    Kenapa saya bilang begini? Ini penting. Suka atau tidak suka, sejumlah uang kita akan 'hilang' untuk kepentingan yang lebih besar, yakni menyediakan atap bagi diri kita (dan keluarga, kalau punya). Katakanlah, tadinya kita punya banyak dana cadangan yang siap ditarik kapan saja ketika kita membutuhkan, misalnya pas kita ngga sengaja nabrak mobil orang atau kena tipes akibat kebanyakan jajan di luar. Nah, kalau kita nyicil KPR, pasti kan ada lah sebagian dari dana cadangan ini yang dipake untuk bayar KPR. 

    Kalau sudah begitu mau gimana? Ya, berarti kita harus mengencangkan ikat pinggang sedikit lebih keras, supaya kita bisa menabung sedikit lebih banyak, atau mencari tambahan penghasilan lain.

    4. Beli Rumah, Terus Dikontrakkin, Yakin Nggak Sayang?

    beli rumah atau ngontrak


    Katanya, kalau mau jadi investasi, kita ga perlu tinggal di rumah itu. Cukup kita kontrakin aja si rumah. Well, my friend, satu hal yang saya tidak suka dari mengontrakkan rumah saya: biasanya penyewa tidak merawat si rumah dengan baik. garis bawahi kata biasanya ya, karena saya yakin sebenarnya gak semuanya begitu.

    Hellooo, saya beli rumah mahal-mahal, nyicil susah payah, dan situ udah numpang tinggal ehhh ternyata tangannya 'ngecap' di tembok banyak banget, atau ngerusakin kitchen set, atau nggak pernah ngerawat tanaman didepan rumah sampai rumput gajah aja abis. 

    Belom kalau ternyata setelah dikontrakan, rumah kita ternyata beralih fungsi menjadi kantor. Tembok dipaku dimana-mana, lantai jadi berkerak dan kadang pecah-pecah karena motor pegawai dimasukin rumah. Iyuh! Kesel!

    Pastikan kalau kita memang mau ngontrakin rumah kita, kita menyeleksi si pengontrak. Lebih lagi, peruntukan kontrakan harus jelas fungsi dan gunanya. Tanggung jawab si pengontrak juga harus jelas. Pokoknya ribet, dan inilah alasan kenapa saya males ngontrakin rumah saya, titik.

    5. Kalo Udah Beli, Sempet Gak Ngerawatnya?



    Jujur ya, kalo saya lagi kejar tenggat di kampus atau lagi banyak side-job, rumah saya pasti berubah bentuknya bak rumah hantu, dari lantai yang ketutup debu tebal sampai tempat sampah yang isinya kertas minyak bekas nasi angkringan, pokoknya suram. Kalau udah begini, pengen gak saya beres-beres? Boro-boro beres-beres, yang ada saya pengen kabur aja ke ujung dunia.

    Okelah, sekarang udah gampang, ada jasa bersih-bersih yang dibayar per-kedatangan dan bisa aja saya bayar pembantu; but i'm very concern about my privacy. Bagi saya rumah itu ya tempat saya menjadi diri saya seutuhnya, jadi masalah privasi adalah masalah nomer satu (ini sempat saya permasalahkan ketika pertama kali saya menikah, but that's another story for another time). Gak nyaman dong, kalo ada orang yang gak kita kenal berkeliaran di rumah? Dan saya rasa gak semua orang bisa mengeluarkan uang untuk menggaji ART. Nanti akan saya ceritakan suka-duka 'merawat' ART di rumah.

    Lah, kalau kita wanita independen yang mau menyeimbangkan antara karir dan suami, masa iya kita biarkan pak suami pulang ke rumah yang kotor? Kan lawak. Saya juga sebenarnya ngga mau--apa daya pak suami yang biasanya lebih gercep untuk beres-beres duluan. Simpel ya, saya kesulitan untuk meluangkan 1 hari saja untuk service AC, atau menunggu tukang kebun. Ujung-ujungnya? rumahnya jadi nggak keurus *insert_sad_emoticon_here*



    Ya sebenarnya juga masih ada sisi positifnya punya rumah. At least, saya ngga perlu khawatir bahwa tahun depan saya harus cari kontrakan baru (yang harganya makin melejit juga ternyata, asyem) dan sebusuk-busuknya itu rumah, itu tetap rumah saya, kebanggaan saya, hasil jerih payah dan pengorbanan yang gak abis-abis saya lakukan. Kalau nanti saya punya anak (who knows? who knows?) dan amit-amit jabang bayi saya kenapa-kenapa, setidaknya saya meninggalkan a piece of land yang paling nggak bisa dia jual buat membiayai hidupnya.

    Tapi, di masa sekarang ini dimana ngontrak dan nyewa terlihat lebih membahagiakan karena bebas pikiran (bayangkan ngantri bayar PBB dan nungguin tukang betulin genteng di rumah sementara si pak bos udah rame whatsapp nanyain kerjaan yang belom sempet kita delegate), saya rasa generasi X macam saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di Starbucks dan di kantor daripada di dapur harus mempertimbangkan lagi baik-baik, masihkah kami cocok beli rumah? Atau memang trend investasi properti sudah bergeser dari rumah dan tanah ke Apartment yang lebih maintenance-free? I don't know. We'll see, we'll see.

    Jadi, masih yakin mau beli rumah?

    beli rumah atau ngontrak

    Waktu saya kecil, orangtua saya selalu bicara soal investasi properti layaknya dewa-dewi di kahyangan. Pokoknya, investasi yang paling bener adalah beli rumah atau tanah. Reksadana, deposito, saham, forex dan lain-lain cuma sementara, sedang yang paling oke adalah punya rumah, tanah dan sawah. Pokoknya, pokoknya dan pokoknya.

    Inilah salah satu alasan saya ujug-ujug membeli rumah di awal usia 20an. Waktu itu bayangan saya (yang super-duper-naif) adalah: kita punya uang, kita nggak mau hidup susah di rumah mertua, kita beli rumah. Simpel ya? Padahal saya sendiri waktu itu ngga kepikir untuk menikah sama sekali lho, hehehe.

    Jadilah saya beli rumah di pinggiran kabupaten Sleman, padahal KTP saya masih KTP Jakarta. Waktu itu yang saya beli adalah rumah tipe 45 dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Sedikit besar untuk starter home, tapi cukup untuk kalau-kalau saya jadi berkeluarga (yang mana waktu itu saya dismiss dengan alasan kamar itu untuk orang tua, saya dan satu orang pembantu).

    beli rumah atau ngontrak


    Sekarang, beberapa tahun kemudian, rasanya agak-agak menyesal juga saya ujug-ujug beli rumah. Perawatan rumah itu ternyata jauh lebih mahal dari yang saya bayangkan dan ujung-ujungnya, saya tinggal di rumah itu sendirian. Memang sih, bisa saja saya jual lagi rumah itu dengan harga yang lebih tinggi ketimbang waktu saya membelinya, apalagi waktu itupun saya beli rumah dengan pembayaran cash. 

    Lho kok menyesal? Gak bersyukur amat! Mungkin begitu yang orang-orang pikirkan ketika membaca tulisan saya ini.

    Saya bukan financial planner yang punya ilmu ekonomi, jadi mungkin tulisan saya ini akan sangat nggak make sense dari segi ekonomi. I know zero shit about this whole property investment. Latar belakang keilmuan saya nggak bisa menjelaskan kenapa saya punya love-hate relationship sama rumah saya--yang mana dulu pernah saya ceritakan di post saya yang berbahasa inggris, dan saya yakin gak cuma saya yang bimbang bin galau kaya gini.

    Satu yang saya tahu, ini adalah sebagian hal yang membuat saya punya pikiran bahwa beli rumah bukanlah investasi yang paling baik buat semua orang. It's a good investment, but not for everyone.  Nah terus kenapa saya bisa mikir begitu?

    1. Beli Rumah Itu Mahal, dan Apakah Pasti Balik Modal?

    Banyak orang yang berpikir bahwa kalau kita beli rumah, nanti suatu saat kalau kita tak lagi nyaman berada di rumah itu kita bisa langsung menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Eits, nanti dulu!

    beli rumah atau ngontrak


    Kalau saya boleh jujur, saya paling kepikiran soal inflasi. Inflasi itu gampangnya adalah proses meningkatnya harga komoditas secara umum dan terus menerus. Misalnya, hari ini kita bisa membeli sebuah rumah dengan harga 300 juta, dan dalam empat tahun kita menjual rumah itu dengan harga 500 juta, TAPI, uang 500 juta pada masa itu senilai dengan 300 juta di empat tahun yang lalu, itu artinya kita tidak betul-betul mendapat keuntungan dari menjual rumah tersebut. Kita simply hanya mendapatkan 300 juta kita lagi. Kalau begitu, kan namanya ngga dapet untung?

    Itu saya belum ngitung kalau rumah sempat dicat ulang, atau sempat bikin built in wardrobe dan kitchen set, atau malah menambah fitur ini itu untuk si rumah yang ngga mungkin diajak ke rumah baru, macam kolam renang atau water heater tenaga surya. Belum lagi uang yang sudah kita keluarkan untuk pajak bumi dan bangunan selama kita tinggal, biaya notaris waktu jual beli rumah, biaya ini itu yang keluar selama kita punya rumah itu, dan masih banyak lagi. Nah cus itung sendiri deh!

    Padahal saya yakin, tidak semua orang beli rumah dengan uang tunai. Ada yang harus mencicil KPR atau pinjaman dengan bunga sekian-sekian yang menjadikan si rumah sebenarnya lebih mahal karena kita bayarin si bunga dan si komisi. Kalau sudah begitu, kan kita harus itung-itungan, sebenarnya untung-rugi kita jual beli rumah itu seperti apa. Dan ini bukan bidang saya yaaaa, karena saya disini cuma curhat aja, hihihi.

    Jadi, belilah rumah ketika kita yakin kita akan memanfaatkan si rumah dalam jangka panjang (kalau perlu seumur hidup), sehingga kita bisa memanfaatkan nilai ekonomis si rumah selama-lamanya. Kalau masih pengen beli-jual beli-jual, mending kita beli emas batangan atau saham deh!

    2. Yakin Kita Gak Perlu Pindah Rumah?

    beli rumah atau ngontrak


    Kenapa kita memutuskan beli rumah di daerah A dan bukan didaerah B? Banyak kan alasannya? Bisa jadi karena kantor kita dekat dengan daerah tersebut, bisa karena dekat dengan rumah orangtua yang semakin uzur, bisa karena anak-anak kita sekolah di daerah tersebut, dan alasan lain-lain yang pokoknya melegitimasi kenapa kita harus beli rumah di daerah tertentu.

    Makanya, kalau ada agen properti ngiklanin rumah pasti ada tulisan "STRATEGIS", dekat dengan pusat perbelanjaan, dekat dengan pintu tol, dekat dengan bandara, dan lain sebagainya--meskipun ngga ada yang nulis DEKAT DENGAN TUHAN atau DEKAT DENGAN JODOH, gatau kenapa.

    Pokoknya, tulisan strategis itu ada untuk menggambarkan bahwa lokasi rumah tersebut menunjang lifestyle kita kedepannya. Dan kita yang merupakan budak-budak gaya hidup ini pasti bakal berpikir "oh besok kalo gue beli rumah disitu, kalo mau kepasar gampang, sekolahan deket, gym deket" dannnn seterusnya gak abis-abis.

    Saya sendiri membeli rumah saya sekarang dengan alasan tidak terlalu jauh dengan kampus, serta dekat dengan ringroad, jadi kalau mau kemana-mana gampang. Tapi ini kan sekarang. Saya nggak jamin 1-2 tahun lagi saya masih akan berangkat ke kampus atau mendapatkan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah. Bisa jadi saya malah akan mendapat kantor yang letaknya belasan bahkan puluhan kilo dari rumah saya kan? Who knows? Kalau sudah begitu apakah saya akan beranggapan bahwa rumah saya MASIH strategis?

    Contoh lain, mungkin sekarang saya kebetulan membeli rumah yang cenderung dekat dengan keluarga pak suami, tapi kalau nanti misalnya terjadi sesuatu *amit-amit jabang bayi, ketok meja 3x*  dengan hubungan rumah tangga kami, apakah saya akan masih menikmati tinggal di dekat keluarga pak suami? kan belum tentu.

    Tapi ya sementara ini tinggal dekat keluarga pak suami lumayan menyenangkan sih, setidaknya ada keluarga yang bisa dijangkau kalau-kalau terjadi apa-apa. Plus, kalo mau pinjem panci, gampang-gampang aja. Kudos!

    3. Cicilan Itu Tidak Boleh Ganggu Budget Hidup Sehari-hari! Pokoknya Nggak Boleh!

    beli rumah atau ngontrak

    Ini khusus bagi yang masih nyicil KPR. Saya sudah berkali-kali meminjamkan uang untuk beberapa teman saya yang hidupnya gali lubang tutup lubang akibat nyicil KPR. Demi membeli rumah (yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya) kadang teman-teman saya bela-belain ngga makan, bela-belain ngga jalan-jalan dan bela-belain yang lain-lain.

    Okelah memang nantinya bank penyelenggara KPR yang akan menentukan apakah dengan gaji kita yang sekian-sekian itu kita layak untuk kredit rumah, tapi apa kita sudah nyiapin tabungan untuk kepentingan yang lain-lain? apakah kita perlu menyesuaikan gaya hidup kita setelah membayar cicilan? Helloooo diingat ya guys, KPR itu ngga hitungan bulan, tapi tahun!!

    Kenapa saya bilang begini? Ini penting. Suka atau tidak suka, sejumlah uang kita akan 'hilang' untuk kepentingan yang lebih besar, yakni menyediakan atap bagi diri kita (dan keluarga, kalau punya). Katakanlah, tadinya kita punya banyak dana cadangan yang siap ditarik kapan saja ketika kita membutuhkan, misalnya pas kita ngga sengaja nabrak mobil orang atau kena tipes akibat kebanyakan jajan di luar. Nah, kalau kita nyicil KPR, pasti kan ada lah sebagian dari dana cadangan ini yang dipake untuk bayar KPR. 

    Kalau sudah begitu mau gimana? Ya, berarti kita harus mengencangkan ikat pinggang sedikit lebih keras, supaya kita bisa menabung sedikit lebih banyak, atau mencari tambahan penghasilan lain.

    4. Beli Rumah, Terus Dikontrakkin, Yakin Nggak Sayang?

    beli rumah atau ngontrak


    Katanya, kalau mau jadi investasi, kita ga perlu tinggal di rumah itu. Cukup kita kontrakin aja si rumah. Well, my friend, satu hal yang saya tidak suka dari mengontrakkan rumah saya: biasanya penyewa tidak merawat si rumah dengan baik. garis bawahi kata biasanya ya, karena saya yakin sebenarnya gak semuanya begitu.

    Hellooo, saya beli rumah mahal-mahal, nyicil susah payah, dan situ udah numpang tinggal ehhh ternyata tangannya 'ngecap' di tembok banyak banget, atau ngerusakin kitchen set, atau nggak pernah ngerawat tanaman didepan rumah sampai rumput gajah aja abis. 

    Belom kalau ternyata setelah dikontrakan, rumah kita ternyata beralih fungsi menjadi kantor. Tembok dipaku dimana-mana, lantai jadi berkerak dan kadang pecah-pecah karena motor pegawai dimasukin rumah. Iyuh! Kesel!

    Pastikan kalau kita memang mau ngontrakin rumah kita, kita menyeleksi si pengontrak. Lebih lagi, peruntukan kontrakan harus jelas fungsi dan gunanya. Tanggung jawab si pengontrak juga harus jelas. Pokoknya ribet, dan inilah alasan kenapa saya males ngontrakin rumah saya, titik.

    5. Kalo Udah Beli, Sempet Gak Ngerawatnya?



    Jujur ya, kalo saya lagi kejar tenggat di kampus atau lagi banyak side-job, rumah saya pasti berubah bentuknya bak rumah hantu, dari lantai yang ketutup debu tebal sampai tempat sampah yang isinya kertas minyak bekas nasi angkringan, pokoknya suram. Kalau udah begini, pengen gak saya beres-beres? Boro-boro beres-beres, yang ada saya pengen kabur aja ke ujung dunia.

    Okelah, sekarang udah gampang, ada jasa bersih-bersih yang dibayar per-kedatangan dan bisa aja saya bayar pembantu; but i'm very concern about my privacy. Bagi saya rumah itu ya tempat saya menjadi diri saya seutuhnya, jadi masalah privasi adalah masalah nomer satu (ini sempat saya permasalahkan ketika pertama kali saya menikah, but that's another story for another time). Gak nyaman dong, kalo ada orang yang gak kita kenal berkeliaran di rumah? Dan saya rasa gak semua orang bisa mengeluarkan uang untuk menggaji ART. Nanti akan saya ceritakan suka-duka 'merawat' ART di rumah.

    Lah, kalau kita wanita independen yang mau menyeimbangkan antara karir dan suami, masa iya kita biarkan pak suami pulang ke rumah yang kotor? Kan lawak. Saya juga sebenarnya ngga mau--apa daya pak suami yang biasanya lebih gercep untuk beres-beres duluan. Simpel ya, saya kesulitan untuk meluangkan 1 hari saja untuk service AC, atau menunggu tukang kebun. Ujung-ujungnya? rumahnya jadi nggak keurus *insert_sad_emoticon_here*



    Ya sebenarnya juga masih ada sisi positifnya punya rumah. At least, saya ngga perlu khawatir bahwa tahun depan saya harus cari kontrakan baru (yang harganya makin melejit juga ternyata, asyem) dan sebusuk-busuknya itu rumah, itu tetap rumah saya, kebanggaan saya, hasil jerih payah dan pengorbanan yang gak abis-abis saya lakukan. Kalau nanti saya punya anak (who knows? who knows?) dan amit-amit jabang bayi saya kenapa-kenapa, setidaknya saya meninggalkan a piece of land yang paling nggak bisa dia jual buat membiayai hidupnya.

    Tapi, di masa sekarang ini dimana ngontrak dan nyewa terlihat lebih membahagiakan karena bebas pikiran (bayangkan ngantri bayar PBB dan nungguin tukang betulin genteng di rumah sementara si pak bos udah rame whatsapp nanyain kerjaan yang belom sempet kita delegate), saya rasa generasi X macam saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di Starbucks dan di kantor daripada di dapur harus mempertimbangkan lagi baik-baik, masihkah kami cocok beli rumah? Atau memang trend investasi properti sudah bergeser dari rumah dan tanah ke Apartment yang lebih maintenance-free? I don't know. We'll see, we'll see.

    Jadi, masih yakin mau beli rumah?

    . Selasa, 04 Oktober 2016 .

    12 komentar

    1. Aggy I love your blog! Sharing ya... Yap miss sih msh yakin mau beli rmh. Kalo investasi sih kata yg lbh ngerti memang properti lebih oke krn alasan yg Aggy jelasin harga rmh bertambah mengikuti inflasi jd valuenya ga turun seperti barang2 lain. Tp memang proses pilih lokasi dan harga yg sesuai kemampuan penting bgt. Kalau lokasi bagus kalopun hrs pindah rumahnya gampang dijual. Disisi lain sbgai yg pernah tinggal di apartemen, apartemen jg banyak biayanya including pajak bangunan, maintenance fee, dan parkir! Yap di apart kemaren parkir bayar tiap bulan udah gt parkirnya rebutan alhasil tiap mau keluar malam hrs mikir bbrp kali dr pada stress cari parkir tiap pulang.

      BalasHapus
      Balasan
      1. miss mei! helloooooo <3
        iya proses mencari lokasi dan harga sesuai kemampuan itu yang kadang seperti jalan berliku berputar putar dll hehehe kadang lokasi bagus harganya juga... bagus, hahahaha. mana kalo mau jual lagi gak instan kaya jual tv di tokopedia hahaha

        tapi hari gini nyari lokasi yang dibilang 'gak strategis' susah juga ya miss, karena pembangunan sudah mulai merata dimana-mana. di jogja yang umr sekian sekian aja harga tanahnya mulai nyamain jakarta *insert deep sigh here*

        kalo aku dl renting apt, Pajak dibayar sama si empunya, tapi kita bayar maintenance fee dll & harga rent nya juga setara cicilan kpr. cumaaaaaa ternyata yang paling kerasa membahagiakan adalah kalo ada apa-apa (let's say inet rusak or keran bocor dll) ada orang yang kita tau bisa nolongin, gantiin dll. emang lebih mahal tapi beban pikiran lebih sedikit. apalagi posisinya kalo kt dikota orang jauh dr mana-mana.

        so maybe buat yang udh settle lebi enak punya rumah. tapi kalo yang nomads kaya aku... masih hrs pikir dua kali hehehe

        Hapus
    2. "Maintenance free" nya pun dibayar dengan harga yang nggak murah, tapi kalo mengingat strategis, praktis, aman dan nyaman saya rasa apartemen adalah pilihan yang paling pas :)

      BalasHapus
      Balasan
      1. betul itu, sayang pilihan apartemen di daerah-daerah masih terbatas hehehe. untung di Jogja sudah ada beberapa, tapi harganya gak main-main, cicilan perbulannya saja ada yang 5x lipat UMR jogja :(

        Hapus
    3. dear agi i really love your blog...eye catching. hebat masih muuda sudah beli rumah.ya memang sih kalo beli rumah sekarang kelak kalau dijual belum tentu kita dapat seharga yang sekarang.tp masih mendingan beli rumahlah mbak, drpd invest mobil yang nilainya cenderung menurun, menurutku sih

      BalasHapus
      Balasan
      1. terimakasih mbak hehehe, salam kenal yaaaa
        ini belom hebat kok karena beli rumahnya pun masih minta talangan dulu sama orangtua, jadi belom 100% lah. memang kalo rumah harganya tidak cenderung penurunan kaya mobil dll, cuma kalo memang mau invest aku lebih suka produk investasi kaya emas, ORI, dll. kalo rumah pure buat tinggal aja (karena punya 1 aja ribettt apalagi banyaaaak buat invest huhuhu)

        Hapus
    4. iya punya rumah itu agak ribet. saya udah 6 kali kebanjiran di rumah yg udah dibeli (nyicil) dan berkali2 betulin ini itu. Tapi ya walau gitu tetap bersyukurlah ada tempat bernaung :)

      BalasHapus
      Balasan
      1. iya kalo sudah masalah yang hanya bisa diatasi Tuhan (wilayah banjir, macet, gempa dll) kadang bikin emosi. apalagi kalo kambuhan, jadi harus keluar uang ini itu untuk renov... tapi bersyukur itu memang penting ya mbak. semoga setelah ini nggak kena banjir lagi mbak, aminnn

        Hapus
    5. Punya rumah perlu perjuangan banget..
      Meski sekarang masih nyicil, di syukuri saja

      BalasHapus
    6. Hebat loohhh Agi, usia 20an udah punya rumah sendiri. Kalo buat investasi jual beli dan nambahin duit, tiap orang beda2 sih. Ada aja yang pinter jual beli properti. Mungkin karena pinter liat peluang juga. Kalo orangnya kayak saya yang males bujuk orang, ga cocok juga soal jual beli properti kayak gini. Tapi punya rumah memang harus deh. Minimal ada tempat bernaung pas udah pensiun hehehe

      BalasHapus
      Balasan
      1. ah saya mah apa atuh, itu di postingan saya yang baru ada yang umur 23 udah bisa bikin perusahaan sendiri dari hasil komisi ini itu *garuk tembok pake kuku*

        saya juga tipe yang ga jago jual beli rumah, tapi sekarang kan ada real estate agent hihihi, komisinya juga bersaing kaaan.
        nabung buat rumah kayanya harus, apalagi kalo udah mau settle down. kalo kaya saya masih pengen nyobain keliling-keliling indonesia? hihihi entar rumahnya jadi rumah hantu.

        Hapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69