• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.
    Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

    Edisi Cari Jodoh Di Dunia Maya: TINDER



    Saya punya teman, sebut saja inisialnya O yang kecanduan Tinder.

    Nah lho, pembukaan cerita ini aja udah sebut-sebut inisial. Tenang guys, kali ini saya (dan dia) memang sengaja berbagi cerita soal cari jodoh di dunia maya. Karena saya (jelas) nggak expert di bidang dating sites.

    Jadi, untuk memulai cerita ini, kita harus kembali dulu ke awal tahun 2014 dimana saya dan O sedang berada didalam sebuah mobil yang membawa kami berjalan lintas planet daerah, tepatnya dari Rempoa ke Kemang Pratama. 

    Kondisi waktu itu adalah saya yang masih berusia 21 tahun sedang terjebak dalam hubungan yang bisa dibilang toxic selama 3 tahun, dan O yang baru saja lulus S1, sedang galau tingkat gunung galunggung karena diputusin pacarnya yang kebetulan--entah mengapa--adalah cinta pertamanya. 

    So, for both of us, life sucks and we need to buy some kue pancong in the middle of Easter Holiday. And there we are. Terjebak di kemacetan tol lingkar luar jakarta demi Kue Pancong di bekasi. 

    Dan saya ingat betul ketika dia sedang mengeluarkan beberapa lembar 5 ribuan untuk membayar tol, O bergumam:

    seandainya cari jodoh semudah cari kue pancong.

    Bukan sebuah kalimat yang bisa diucapkan seorang fresh graduate yang ENTAH KENAPA bisa memilih untuk menjemput teman baiknya untuk membeli kue pancong di tempat yang jauh-jauh. Saya yakin di Rempoa juga ada kue pancong. Tapi kalimat itu sedikit banyak merubah hidup dia. Karena dalam 3 jam terapes dalam hidup saya itu, O membuat sebuah pengakuan: dia mendaftar beberapa dating sites.

    2014 itu Tinder belum sebooming sekarang, dan dating sites yang dia maksud adalah dating sites international. Belum ada aplikasi yang bisa dipake untuk cari-cari temen jodoh dalam radius 50 mil yang booming. Ada sih, WeChat, tapi kebanyakan isinya (menurut pendapat O tentu saja) alay. Jadi dia memilih dating sites internasional dengan harapan bisa ketemu dengan cewek yang lancar berbahasa inggris. 

    Nggak tau itu logika darimana, karena 3 bulan kemudian dia berkenalan dengan seorang perempuan asal Boyolali yang bahasa inggrisnya selancar tour guide Borobudur. Sayang hubungan itu nggak bertahan lama. Alasannya? Klasik, LDR.

    ***

    Fast forward ke tahun 2015 dimana tinder lagi booming-boomingnya. Setiap kali kita kumpul-kumpul, ketimbang posting di Instagram atau Path, O bakal lebih sibuk swipe left and right. Nongkrong dimanapun, itu Tinder nggak pernah lepas dari layar hp dia. Sampai akhirnya, suatu hari di salah satu McDonalds di timur jakarta, dia finally mengeluarkan sebuah pernyataan paling ajaib abad ini:

    "Guys, gue dapet date di Tinder, dan dia mau ikut join kita sekarang!"

    Kontan anak-anak menolak. Kami sudah cukup jarang quality time berlima, dan entah kenapa bocah ini lebih pengen Tinder Date yang baru dia kenal beberapa menit yang lalu itu dateng ke acara kumpul-kumpul kita--tapi dengan berbagai macam persuasi ajaib ala ala O, kami akhirnya mengalah. Demi kebahagiaan teman kan ya?? *elus-elus dada joe taslim sendiri*

    Setengah jam kemudian datanglah seorang gadis cantik, ramah, dan termasuk salah satu orang paling intelektual yang pernah saya kenal. Sebut saja namanya M. M adalah mahasiswi Kedokteran Gigi di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia. Dari penampilan dan pembawaannya, saya 100% yakin bahwa M nggak perlu Tinder untuk cari jodoh.

    Dan seperti biasa, kekepoan saya muncul dalam bentuk interogasi di meja plastik McDonalds yang sempit itu.

    "apa sih serunya main tinder?"

    and that question was answered in four points that i would love to share now.

    ***

    1. You Can Be Superficial



    Everyone has a type. Jelek-jelek begini, saya juga punya tipe lelaki idaman (iyes, orang jelek juga perlu bahagia) dan jujur aja deh, kadang kalo kita mau kenalan sama orang yang pertama kali diliat apa? Fisik Kan???

    Iya lah, kalo baru kenal bisa tiba-tiba nerawang inner beauty mah namanya paranormal. Skip.

    Nggak ada yang salah kok dengan menjadi superficial. Udah kodratnya manusia suka yang bagus-bagus dan indah-indah. Kalo misalnya manusia sukanya yang tampilannya ajaib-ajaib, mungkin orang kaya saya udah jadi Miss Universe dari kapan tau.

    Sejauh ini sih saya BELOM pernah punya temen yang kalo liat cowo ngegembel in the first glance langsung bilang, "eh dia kayaknya baik banget/auranya surgawi/keliatan bakal masuk surga/inner beauty nya keliatan yaaa". Nggak ada. Karena saya yakin, suka nggak suka orang bakal judge by the cover dulu, baru liat yang lain-lainnya. 

    Nah, kalo di Tinder yang pertama kali diliat apa sih? Profile Picture kan, terus baru description.

    Kalo cuchok swipe right dan kalo ngga cuchok swipe left. As simple as that. Nggak perlu basa-basi "aku lebih nganggep kamu temen baik/sodara/kaka/adek aku..." yang mana itu kebanyakan adalah bull to the shit. Ye kan?

    2. Nggak Perlu Ngga Enakan sama teman-teman yang sudah jadi Mak Comblang Kalo Misalnya Ngga Cocok Sama orangnya

    Pernah nggak sih, males sama orang yang dijodoh-jodohin dikenalin sama temen kita? Saya sih sering, tapi dulu, jamannya Pak Suami belom eksis dan mungkin masih di kandang kambing nungguin kambing lahiran.

    Nah, Tinder (dan online dating apps/sites lainnya) memperkecil resiko nggak enakan itu. Ya mau gak enak sama siapa?? Toh kita juga kenal orangnya langsung kan? 

    Nih ya, saya kasi tau. The more middlemen in your relationship, the harder it gets. 

    Misalnya nih ya, saya pernah dicomblangin dengan seorang kutu kupret cowok berinisial Y. Orangnya sih asik, fun, dan the relationship goes so well until he dumped me and drop me off in the middle of nowhere. Iya, saya diturunin aja gitu di pinggir jalan. Bukan momen yang perlu saya jelaskan lebih lanjut, skip. 

    Sialnya, ketika hubungan kami bubar jalan, teman-teman saya dan Y (yang merasa nyomblangin kami ituh) juga ikut-ikutan bubar. Mulailah teman-teman kami taking sides dan akhirnya yaaaa saya kehilangan cukup banyak teman saat itu (partially because Y said I cheated on him, which I'm NOT).

    Dan yaaaa... life goes on. Mungkin kalo Y dan saya tidak punya mutual friend sebanyak itu, nggak perlu ada yang merasa untuk ikut campur dalam hubungan kami.

    Mungkin kalau saya punya tinder waktu itu, saya akan lebih sibuk swipe left and right ketimbang galau-galau dipinggir minimarket sambil ngemil paddle's pop. 

    3. If He/She is a Jerk or Not Who They Say They Are, You Can Just Say Goodbye

    Ini bagian yang menurut saya paling penting. Percaya deh, semenjak paket internet jadi murah, banyak banget bajingan yang berkeliaran di Internet. Nggak percaya? Noh baca aja akun instagram tindernightmares atau google aja tinder stories. 

    Kalau soal satu dua 'oknum' yang hobinya datang dan pergi sesuka hatinya pasti banyak. Apalagi yang mulut jarinya nggak bener, jadi hobi ngechat yang enggak-enggak... hmm, ngga keitung kali.

    Saya belum pernah merasakan Online dates gone wrong. Tapi teman saya, sebut saja namanya R pernah. 

    R dan saya paling jarang ketemu, soalnya dia budak kapitalisme eksekutif muda ibukota dan saya hanyalah ibu rumah tangga ala-ala, oke skip.

    Sekalinya kita ketemu, R langsung nyerocos soal pengalaman buruknya di Tinder. Jadi, sebagai pria ibukota masa kini, R juga terpancing untuk mencoba peruntungan untuk mendapatkan Tinder dates yang sifatnya just for fun--if you know what I mean. Peruntungan membawa R berlabuh ke layar handphone C, yang dari profile picture nya cantik banget (bahkan saya yang cewek pun mengakui kalo C ini cantik banget).

    C banyak bercerita soal latar belakangnya sebagai creative director sebuah brand, hobinya pelesiran ke singapore dan thailand setiap bulan, dan kecintaannya terhadap nail art. R sudah koar-koar berbangga dewa ke teman-temannya kalau 'he got a catch'.

    TAPI OH TAPI, setelah "ditelusuri" lebih lanjut, ternyata C ini adalah seorang transsexual. Dan R pun menghilang dari hidup C setelah saat itu.

    With that being said, I highly recommend you to take a background check before you actually fall in love with your date. Some people are just downright fishy. Iya, semenjak sering nonton catfish, saya jadi suka curigaan sama orang di internet. 

    Agak sedih sih sebenernya cerita ini. Jujur aja saya agak kasian sama C, tapi saya juga harus realistis bahwa nggak semua orang bisa menerima keadaan dia, and in tinder, anything can happen. Which brings me to my next point yaituuuu.....

    4. Nggak Ada yang Serius di Tinder (Awalnya sih...)



    Kata teman saya, K, yang juga veteran Tinder seperti O, jangan berekspektasi terlalu banyak ketika ada orang yang nge-swipe right di profile kita. Kebanyakan orang (cowok terutama) make Tinder cuma buat have fun dan bukan buat serius cari jodoh. Kasarnya, banyak orang yang tebar jala di Tinder. Kalo cocok ya sukur, kalo nggak ya bye-bye.

    Tapi saya juga ada teman yang saling mengenal lewat tinder kemudian menikah sekitar setahun kemudian. Yaaa, namanya jodoh emang udah ada yang ngatur kan??

    But seriously, start the relationship very casually.  Ini khususnya buat yang cewek-cewek ya. JANGAN KEBELET KAWIN KALO KETEMU COWOK DI INTERNET. Kenalan baik-baik dulu, take everything easily, kenali dia luar dalam. Jangan baru kenal 1-2 minggu terus kebelet kewong, because in every relationship, you have to understand your significant other's flaw then LOVE them. bukan kebalikannya. Idup jangan dibolak-balik ah, dikira keset lagi dijemur? :))

    ***
    Balik lagi ke cerita M & O. Seperti yang sudah saya duga, hubungan mereka akhirnya berakhir saat M mengambil beasiswa ke luar negeri, lagi-lagi alasannya klasik, LDR. Sebelum mereka bubar, mereka sempat dating selama hampir setahun. 

    Yang berbeda, kali ini saya dan O sudah tidak lagi sibuk curhat di dalam mobil sambil ngemil kue pancong yang dibeli puluhan kilometer dari rumah.

    Karena kali ini dia sudah punya tinder. Dan mencari jodoh saat ini memang semudah itu.

    Punya pengalaman soal cari jodoh di dating sites? Yuk cus, comment dibawah atau email ke hello.duckofyork@gmail.com!

    Until next time!



    Saya punya teman, sebut saja inisialnya O yang kecanduan Tinder.

    Nah lho, pembukaan cerita ini aja udah sebut-sebut inisial. Tenang guys, kali ini saya (dan dia) memang sengaja berbagi cerita soal cari jodoh di dunia maya. Karena saya (jelas) nggak expert di bidang dating sites.

    Jadi, untuk memulai cerita ini, kita harus kembali dulu ke awal tahun 2014 dimana saya dan O sedang berada didalam sebuah mobil yang membawa kami berjalan lintas planet daerah, tepatnya dari Rempoa ke Kemang Pratama. 

    Kondisi waktu itu adalah saya yang masih berusia 21 tahun sedang terjebak dalam hubungan yang bisa dibilang toxic selama 3 tahun, dan O yang baru saja lulus S1, sedang galau tingkat gunung galunggung karena diputusin pacarnya yang kebetulan--entah mengapa--adalah cinta pertamanya. 

    So, for both of us, life sucks and we need to buy some kue pancong in the middle of Easter Holiday. And there we are. Terjebak di kemacetan tol lingkar luar jakarta demi Kue Pancong di bekasi. 

    Dan saya ingat betul ketika dia sedang mengeluarkan beberapa lembar 5 ribuan untuk membayar tol, O bergumam:

    seandainya cari jodoh semudah cari kue pancong.

    Bukan sebuah kalimat yang bisa diucapkan seorang fresh graduate yang ENTAH KENAPA bisa memilih untuk menjemput teman baiknya untuk membeli kue pancong di tempat yang jauh-jauh. Saya yakin di Rempoa juga ada kue pancong. Tapi kalimat itu sedikit banyak merubah hidup dia. Karena dalam 3 jam terapes dalam hidup saya itu, O membuat sebuah pengakuan: dia mendaftar beberapa dating sites.

    2014 itu Tinder belum sebooming sekarang, dan dating sites yang dia maksud adalah dating sites international. Belum ada aplikasi yang bisa dipake untuk cari-cari temen jodoh dalam radius 50 mil yang booming. Ada sih, WeChat, tapi kebanyakan isinya (menurut pendapat O tentu saja) alay. Jadi dia memilih dating sites internasional dengan harapan bisa ketemu dengan cewek yang lancar berbahasa inggris. 

    Nggak tau itu logika darimana, karena 3 bulan kemudian dia berkenalan dengan seorang perempuan asal Boyolali yang bahasa inggrisnya selancar tour guide Borobudur. Sayang hubungan itu nggak bertahan lama. Alasannya? Klasik, LDR.

    ***

    Fast forward ke tahun 2015 dimana tinder lagi booming-boomingnya. Setiap kali kita kumpul-kumpul, ketimbang posting di Instagram atau Path, O bakal lebih sibuk swipe left and right. Nongkrong dimanapun, itu Tinder nggak pernah lepas dari layar hp dia. Sampai akhirnya, suatu hari di salah satu McDonalds di timur jakarta, dia finally mengeluarkan sebuah pernyataan paling ajaib abad ini:

    "Guys, gue dapet date di Tinder, dan dia mau ikut join kita sekarang!"

    Kontan anak-anak menolak. Kami sudah cukup jarang quality time berlima, dan entah kenapa bocah ini lebih pengen Tinder Date yang baru dia kenal beberapa menit yang lalu itu dateng ke acara kumpul-kumpul kita--tapi dengan berbagai macam persuasi ajaib ala ala O, kami akhirnya mengalah. Demi kebahagiaan teman kan ya?? *elus-elus dada joe taslim sendiri*

    Setengah jam kemudian datanglah seorang gadis cantik, ramah, dan termasuk salah satu orang paling intelektual yang pernah saya kenal. Sebut saja namanya M. M adalah mahasiswi Kedokteran Gigi di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia. Dari penampilan dan pembawaannya, saya 100% yakin bahwa M nggak perlu Tinder untuk cari jodoh.

    Dan seperti biasa, kekepoan saya muncul dalam bentuk interogasi di meja plastik McDonalds yang sempit itu.

    "apa sih serunya main tinder?"

    and that question was answered in four points that i would love to share now.

    ***

    1. You Can Be Superficial



    Everyone has a type. Jelek-jelek begini, saya juga punya tipe lelaki idaman (iyes, orang jelek juga perlu bahagia) dan jujur aja deh, kadang kalo kita mau kenalan sama orang yang pertama kali diliat apa? Fisik Kan???

    Iya lah, kalo baru kenal bisa tiba-tiba nerawang inner beauty mah namanya paranormal. Skip.

    Nggak ada yang salah kok dengan menjadi superficial. Udah kodratnya manusia suka yang bagus-bagus dan indah-indah. Kalo misalnya manusia sukanya yang tampilannya ajaib-ajaib, mungkin orang kaya saya udah jadi Miss Universe dari kapan tau.

    Sejauh ini sih saya BELOM pernah punya temen yang kalo liat cowo ngegembel in the first glance langsung bilang, "eh dia kayaknya baik banget/auranya surgawi/keliatan bakal masuk surga/inner beauty nya keliatan yaaa". Nggak ada. Karena saya yakin, suka nggak suka orang bakal judge by the cover dulu, baru liat yang lain-lainnya. 

    Nah, kalo di Tinder yang pertama kali diliat apa sih? Profile Picture kan, terus baru description.

    Kalo cuchok swipe right dan kalo ngga cuchok swipe left. As simple as that. Nggak perlu basa-basi "aku lebih nganggep kamu temen baik/sodara/kaka/adek aku..." yang mana itu kebanyakan adalah bull to the shit. Ye kan?

    2. Nggak Perlu Ngga Enakan sama teman-teman yang sudah jadi Mak Comblang Kalo Misalnya Ngga Cocok Sama orangnya

    Pernah nggak sih, males sama orang yang dijodoh-jodohin dikenalin sama temen kita? Saya sih sering, tapi dulu, jamannya Pak Suami belom eksis dan mungkin masih di kandang kambing nungguin kambing lahiran.

    Nah, Tinder (dan online dating apps/sites lainnya) memperkecil resiko nggak enakan itu. Ya mau gak enak sama siapa?? Toh kita juga kenal orangnya langsung kan? 

    Nih ya, saya kasi tau. The more middlemen in your relationship, the harder it gets. 

    Misalnya nih ya, saya pernah dicomblangin dengan seorang kutu kupret cowok berinisial Y. Orangnya sih asik, fun, dan the relationship goes so well until he dumped me and drop me off in the middle of nowhere. Iya, saya diturunin aja gitu di pinggir jalan. Bukan momen yang perlu saya jelaskan lebih lanjut, skip. 

    Sialnya, ketika hubungan kami bubar jalan, teman-teman saya dan Y (yang merasa nyomblangin kami ituh) juga ikut-ikutan bubar. Mulailah teman-teman kami taking sides dan akhirnya yaaaa saya kehilangan cukup banyak teman saat itu (partially because Y said I cheated on him, which I'm NOT).

    Dan yaaaa... life goes on. Mungkin kalo Y dan saya tidak punya mutual friend sebanyak itu, nggak perlu ada yang merasa untuk ikut campur dalam hubungan kami.

    Mungkin kalau saya punya tinder waktu itu, saya akan lebih sibuk swipe left and right ketimbang galau-galau dipinggir minimarket sambil ngemil paddle's pop. 

    3. If He/She is a Jerk or Not Who They Say They Are, You Can Just Say Goodbye

    Ini bagian yang menurut saya paling penting. Percaya deh, semenjak paket internet jadi murah, banyak banget bajingan yang berkeliaran di Internet. Nggak percaya? Noh baca aja akun instagram tindernightmares atau google aja tinder stories. 

    Kalau soal satu dua 'oknum' yang hobinya datang dan pergi sesuka hatinya pasti banyak. Apalagi yang mulut jarinya nggak bener, jadi hobi ngechat yang enggak-enggak... hmm, ngga keitung kali.

    Saya belum pernah merasakan Online dates gone wrong. Tapi teman saya, sebut saja namanya R pernah. 

    R dan saya paling jarang ketemu, soalnya dia budak kapitalisme eksekutif muda ibukota dan saya hanyalah ibu rumah tangga ala-ala, oke skip.

    Sekalinya kita ketemu, R langsung nyerocos soal pengalaman buruknya di Tinder. Jadi, sebagai pria ibukota masa kini, R juga terpancing untuk mencoba peruntungan untuk mendapatkan Tinder dates yang sifatnya just for fun--if you know what I mean. Peruntungan membawa R berlabuh ke layar handphone C, yang dari profile picture nya cantik banget (bahkan saya yang cewek pun mengakui kalo C ini cantik banget).

    C banyak bercerita soal latar belakangnya sebagai creative director sebuah brand, hobinya pelesiran ke singapore dan thailand setiap bulan, dan kecintaannya terhadap nail art. R sudah koar-koar berbangga dewa ke teman-temannya kalau 'he got a catch'.

    TAPI OH TAPI, setelah "ditelusuri" lebih lanjut, ternyata C ini adalah seorang transsexual. Dan R pun menghilang dari hidup C setelah saat itu.

    With that being said, I highly recommend you to take a background check before you actually fall in love with your date. Some people are just downright fishy. Iya, semenjak sering nonton catfish, saya jadi suka curigaan sama orang di internet. 

    Agak sedih sih sebenernya cerita ini. Jujur aja saya agak kasian sama C, tapi saya juga harus realistis bahwa nggak semua orang bisa menerima keadaan dia, and in tinder, anything can happen. Which brings me to my next point yaituuuu.....

    4. Nggak Ada yang Serius di Tinder (Awalnya sih...)



    Kata teman saya, K, yang juga veteran Tinder seperti O, jangan berekspektasi terlalu banyak ketika ada orang yang nge-swipe right di profile kita. Kebanyakan orang (cowok terutama) make Tinder cuma buat have fun dan bukan buat serius cari jodoh. Kasarnya, banyak orang yang tebar jala di Tinder. Kalo cocok ya sukur, kalo nggak ya bye-bye.

    Tapi saya juga ada teman yang saling mengenal lewat tinder kemudian menikah sekitar setahun kemudian. Yaaa, namanya jodoh emang udah ada yang ngatur kan??

    But seriously, start the relationship very casually.  Ini khususnya buat yang cewek-cewek ya. JANGAN KEBELET KAWIN KALO KETEMU COWOK DI INTERNET. Kenalan baik-baik dulu, take everything easily, kenali dia luar dalam. Jangan baru kenal 1-2 minggu terus kebelet kewong, because in every relationship, you have to understand your significant other's flaw then LOVE them. bukan kebalikannya. Idup jangan dibolak-balik ah, dikira keset lagi dijemur? :))

    ***
    Balik lagi ke cerita M & O. Seperti yang sudah saya duga, hubungan mereka akhirnya berakhir saat M mengambil beasiswa ke luar negeri, lagi-lagi alasannya klasik, LDR. Sebelum mereka bubar, mereka sempat dating selama hampir setahun. 

    Yang berbeda, kali ini saya dan O sudah tidak lagi sibuk curhat di dalam mobil sambil ngemil kue pancong yang dibeli puluhan kilometer dari rumah.

    Karena kali ini dia sudah punya tinder. Dan mencari jodoh saat ini memang semudah itu.

    Punya pengalaman soal cari jodoh di dating sites? Yuk cus, comment dibawah atau email ke hello.duckofyork@gmail.com!

    Until next time!

    . Kamis, 25 Mei 2017 .

    19 komentar

    1. Ternyataaaaa...yang ada di novel2 ttg Tinder ini beneran kejadian yak di kehidupan nyata. Selama ini nggak nyari tau sih ttg aplikasi kayak ginian. Huehehe.
      Pengalaman make? Nggak ada. Entah kenapa lebih suka aja berhubungan sama orang yg emang udah kenal dulu. Nggak yang kosong banget ga tau apa2 ttg orang itu. Yahh ini soal preferensi sih ya hehehe

      BalasHapus
      Balasan
      1. wakakaka beneran mba. mau saya kenalin sama O & K yang veteran tinder? kalo denger cerita mereka soal tinder bisa ngakak-ngakak, dari ketemu cabe-cabean sampe cewe super posesif padahal baru kenal wakaka
        aku juga sama kok, tipe orang yang emang seneng kenalan langsung daripada lewat internet. sekali dua kali boleh lah (paling temen forum yang 1 hobi) tapi kalo app khusus cuma buat cari temen ngga pernah. dulu pernah sih kenal banyak dari aplikasi streaming tapi sekarang juga mencar2 juga pas udah gapake appnya ya.

        Hapus
    2. Aku ada temen yang carinya via dating sites, tapi bukan tinder. Haha. Kalau diceritain seru sih. Temen-temenku ini mostly usianya jauh dariku dan mereka memilih dating sites simple, karena dia sibuk jadi nggak punya waktu utk cari orang di dunia nyata. Kalau lewat dating sites kalau cocok sekian minggu or bulan baru deh ditemuin. Gak makan banyak waktu kan untuk kenalan

      BalasHapus
      Balasan
      1. cerita doooong <3 would love to hear hehehehe. iya kalo dating sites kecenderungan pdkt nya lebih lama ya dari tinder. kalo tinder mungkin karena location based apps jadi cintanya ga berat di ongkos.

        (jadi inget jaman dulu naik kereta sampe solo cuma buat nemenin si O ketemuan sama pujaan hatinya yang orang boyolali di solo terus jadi kacang atom sepanjang perjalanan di solo wakaka)

        Hapus
      2. Boleh bu, tapi kasih saya makan ya di rumahmu. Biar pas cerita nggak kelaparan wakakak

        Hapus
    3. Tinder boleh juga nih dicoba... :) bw dari molzania.com

      BalasHapus
    4. Ngomongin soal tinder nih ya, i have one friend.... (cewek) yang selalu dapat pacar dari Tinder, like always sis. Mungkin sampai sekarang pacar kenalannya di Tinder udah 4 atau 5x deh! dan semua cowok kenalannya di dapet dari sana hahaha
      lucu dan heran sih, secara aku kan anaknya paling ngga bisa kenalan sama orang lewat aplikasi, harus langsung, to the point, tegas dan tanpa basa basi. Tapi ternyata ada ya yang ketergantungan sama aplikasi macam begitu hahaha
      nggak kebayang kalau aku begitu :'D

      www.deniathly.com

      BalasHapus
      Balasan
      1. hahahaa aku juga lho sist, karena aku orang jadul (baca: vintage, biar keren), jadi kalo ketemuan sm temen dari internet rada awkward. ada juga kok temenku yang kaya temenmu (itu si O diatas wakakaka) berapa kali ketemu pacar dari tinder, dan temen cewenya kalo bukan temen kampus ya temen tinder wakakaka.

        bagusnya ya menambah teman. nggak bagusnya: kalo dia galau, aku yang kena.

        Hapus
    5. jodoh itu bisa lewat media ap-a aja, termasuk internet :)

      BalasHapus
    6. Jadi inget sepupuku yang skripsi ngambil tema tentang tinder, kemarin dia nyari-nyari responden mahasiswa yang pernah kencan atau bahkan jadian berkat tinder.

      BalasHapus
    7. Haha, elus dada Joe Taslimnya sendirian aja neng :p
      Iyah betul jodoh nggak ada yg tahu sih yah. Cuma klo aku, masih agak kurang sreg klo nyari via Tinder or dunia maya. Plusnya yaaa ituu, nggak perlu nggak enak klo nolak hihi

      BalasHapus
    8. Eh saya kok kudet amat yak baru tahu istilah tinder,maklum saya hidup di desa...hihihi... tapii saya suka dengan cara mimin nulis bisa bikin baca sampai akhir,TFS

      BalasHapus
    9. SAya baru tahu kalo ada media Tinder untuk cari jodoh. hee
      dlu saudara ku juga cari jodoh dari online, cuma lupa media apa. jodoh emang datangnya dari sisi mana aja.

      Salam kenal mbk.
      ditunggu kunjungannya di blog saya y mbk.

      BalasHapus
    10. jaman dulu mah nyari jodoh di rubrik jodoh yg ada di koran semacam kompas dll sekarang lebih praktis ya

      soal dating sites, belum pernah nyoba, soalnya udah keduluan dapet jodoh via pesbuk

      BalasHapus
    11. kalau sdh jodoh dimana pun bisa ya

      BalasHapus
    12. jadi ya habis baca ini aku langsung search tindernightmares dong :o OMG memang jodoh itu bisa nyangkut gatau kemana

      BalasHapus
    13. I'm the one who get boyfriend from Tinder hehehe. Terus udah 3 bulanan ini dekat dan insya Allah fine2 ajaa seterusnya. Reason why gue swipe si X karenaa ketemu kakak kelas satu almamater ahaha lol. Yaudah deh, karena satu almamater itu, gue ngerasa percaya karena kita dari universitas yg sama #CieGituu

      BalasHapus
    14. aku juga loh termasuk orang yang males ketemu someone lewat dating sites, tapi sebenernya penasaran pengin cobain app semacam ini juga, tapi males ketemu tapi penasaran... tapi males ketemu tapi yaaaa penasaran lagi.. gimana dong ? help me

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69