• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.
    Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

    "Mbak, Nikah Itu Gimana Sih?" : Answering Top 5 Question About My Marriage


    Sudah baca judul postingan ini? Good, Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh rekan-rekan seumuran saya yang mungkin sedang galau-galaunya pengen nikah muda apadaya jodoh/budget/ortu gak sampai.

    Saya menikah hampir setahun yang lalu di usia yang sangat muda bagi saya, yaitu menjelang usia 23 tahun. Sialnya, karena kebanyakan teman-teman saya adalah anak muda urban, gaul dan edgy dan pada umumnya yang hidup dengan tekanan pertanyaan "kapan kawin" tiap kali kumpul-kumpul, saya jadi punya semacam Frequently Asked Question ala-ala website nge-hits 2017 dari gimana sih bedanya nikah sama nggak nikah sampai Am I happy with my decision. Wait, Am I happy?

    Penasaran? Let's find out.

    Diantara semua teman-teman seumuran dan seangkatan saya, saya termasuk yang menikah duluan. Duluan ya, bukan paling cepat, because I get the honor of being a Maid of Honor twice, for two of my best friend. Jadi, ketika saya menikah, saya sendiri merasa sangat natural ketika beberapa teman yang belum menikah started asking questions regarding marriage.

    Nggak masalah sih, saya juga bukan tipe yang keberatan ditanya-tanya--well, selama pertanyaannya masuk di akal sih. Tapi kalo sebulan bisa (minimal) 15 kali ditanya pertanyaan yang sama oleh orang-orang yang berbeda, ya lama kelamaan saya jenuh juga. Kalau boleh jujur ya, mungkin saya menulis ini karena lelah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan yang lebih pribadi such as gimana bisa cope dengan perbedaan budaya, mungkin bisa jadi another topic for another day. (Comment down below if you want me to write about this!)

    Okay, here goes my top 5 question:


    Apa Sih Bedanya Habis Menikah Dengan Sebelum Menikah?




    Hmm, ini sulit dijawab karena pak suami sendiri adalah figur yang nyaris nggak pernah absen dari kehidupan saya semasa pacaran, kecuali waktu kami LDR selama setahun selama pak suami bekerja di palembang. Yang paling menonjol jelas dari segi berbagi tanggung jawab dan berbagi kasur.

    Saya harus ngaku, it takes a very long time for me to get used to people in my home. Saya tipe yang privat banget kalo urusan tinggal serumah sama orang lain--kecuali sama temen yang udah kenal lebih dari 5 tahun atau sama keluarga inti. Kenapa begitu?

    Karena-saya-paling-ga-suka-disuruh-pake-celana. Udah gitu aja. Bagi saya, keberadaan orang lain dirumah means saya harus pake celana and I hate every kind of pants. Jeans, legging, trousers, pajama pants and even underpants. 

    Ya, jijik, i know. moving on!

    Saya juga nggak nyaman berbagi kasur dengan orang lain. Pokoknya tidur sekasur sama orang lain (bahkan sama ibu saya sendiri) adalah sesuatu yang enggak banget buat saya. Saya mending tidur di lantai daripada tidur sekasur sama orang, titik.

    Awal-awal nikah, saya sering banget kabur dari kasur buat tidur sendiri di sofa depan. Persetan dengan hubungan suami istri, saya nggak bisa tidur kalo ada makhluk hidup lain tidur di dekat saya, nafas di leher saya, ngorok di kuping saya, dan seterusnya. Pak suami selalu bangun tiap saya bangun dan membujuk saya balik untuk tidur di kasur. This goes on for a while.

    Hari ketiga setelah pernikahan kami, Pak Suami sukses menendang saya sampe jatuh dari kasur dan harus cari tukang urut karena leher saya keseleo (Terimakasih Pak Suami!) Habis itu, saya bener-bener jaga jarak kalo tidur. Sekarang sih udah lumayan ya, udah mulai bisa merem atau tidur nyenyak meskipun ada pak suami, coba dua bulan pertama pernikahan--duh, neraka banget deh buat saya!

    Ya intinya sih, semua bisa karena biasa, ya kan?

    Pernah Berantem Nggak Sih Mbak?



    Wah, jangan ditanya. Jawabannya, sering!

    Saya sering berantem sama Pak Suami. Berantemnya nggak yang pukul-pukulan apa cekek-cekekan gitu sih, cuma yang diem-dieman dan ngambek-ngambek gemes. Biasanya sih paling sering ribut karena salah paham atau emang karena Pak Suami lagi mens sensitif. Kalo udah gitu biasanya saya nyerah deh, cuma bisa ndusel ndusel lucu sambil pasang muka melas biar Pak Suami nggak ngambek lagi.

    Tapi kalo saya pikir-pikir, hari dimana saya nggak berantem sama pak suami sebenarnya masih jauh lebih banyak daripada hari berantem, jadi yaaa menurut saya masih wajar-wajar aja ya kalo kita ribut-ribut--sama kakak adik yang udah 190872391 tahun bareng-bareng aja kita masih sering ribut, apalagi sama suami yang baru beberapa tahun--oke comparison nya lebay.

    Kalau saya punya dua pegangan pas ribut sama suami, satu, kalo sampe berantem berarti dua-duanya salah, dan dua, jangan pernah ngumbar kata "cerai". Cerai pale lu peyang, dikira cerai nggak pake duit? Kawinan aja belom balik modal bisa-bisanya lu ngomong cera-cere-cera-cere.

    Cuma ya diliat-liat juga, jaman pacaran kayanya ngambek-ngambek gemes gitu biasa banget. Pas marah, tinggal kabur terus nggak jawab sms telfon dll kan gampang. Kalau udah nikah, boro-boro deh kabur-kaburan, berhubung kita tinggalnya di rumah petak ya isinya lu-lagi-lu-lagi. Apa nggak bubar?

    Kok Belom Punya Anak? Nggak Mau Buru-Buru? 



    Ucet, lo kira punya anak itu racing pake buru-buru?

    Enggak, saya dan pak suami belom kepikiran untuk punya anak. We get our hands full with our dogs. Saya pernah keguguran sekali setelah 6 bulan menikah karena saya bermasalah dengan organ reproduksi saya, but that's about it, that's the closest i've ever been to parenthood. 

    Punya anak kan nggak cuma masalah "eh gue punya duit, gue udah nikah, gue mau beranak", enggak kayak gitu. Banyak dong yang harus disiapin, dari masa depannya si anak, sampai mental orangtua yang harus berubah ketika sudah punya anak. Banyak emang yang bilang, nanti rejeki dan kelakuan akan berubah sendiri setelah punya anak, but seeing how we are always fending for ourselves without our parents, saya sih nggak yakin orangtua akan berubah karena anak. Adaptasi iya, tapi kalo berubah? hmmm *nyengir kuda tanda tak yakin*

    Ada kan tuh yang bilang, rejekinya anak ada aja datengnya? Iya sih emang, tapi jangan lupa, rejeki itu juga harus dicari! Kalo Tuhan ngasih rejeki tau-tau jatoh dari langit, enak kali hidup manusia ini.

    Jadi secara psikologis dan materi, kita belom siap. Kalo suatu saat dikasih anak yaudah, kalo nggak dikasih yaudah. Simpel kan? Hidup itu nggak melulu soal lahir-sekolah-kuliah-kerja-nikah-punya anak-mati-repeat.

    Kalau Dirumah Lagi Berduaan Biasanya Ngapain Aja?



    Makan, tidur, kerja, main game, repeat. Mau ngapain lagi? 
    Engga sih, sebenernya saya ngerti, ini pertanyaan arahnya ke "nggak bosen apa berdua aja?" Jawabannya yaaaa, enggak dong. Kalo sampe bisa bosen berduaan, jangan nikah, hahaha. 

    Saya sering bosan sama keadaan, tapi belum pernah bosan sama pak suami. Kalau teman-teman yang udah sering jalan sama saya sih pasti tahu, kalo saya adalah magnet kejadian-kejadian aneh soalnya golongan darah saya AB. Katanya sih kalo orang dengan golongan darah AB itu hidupnya weird. Untungnya saya nikah sama orang yang golongan darahnya AB juga, jadi rasanya sih saya nggak weird-weird amat. 

    Pernah gak kamu mau makan mie malah nyasar ke madrasah? Belom kan? Atau mau bayar belanjaan tapi malah ngeluarin koin Timezone? well, it's a daily life for me. And since I get married to an equally strange men, you doubled the stupidity. Do the math.

    Yaaa, tapi namanya baru setahun nikah, sampai bisa bosen ya keterlaluan juga kayanya?

    Kenapa Sih Nikah Muda?


    Nah ini nih pertanyaan sejuta umat yang paling sering ditanyain ke saya. Sebagai anak muda urban nan gaul nan edgy yang pikniknya jauh dan pulangnya malam, saya sering ditanya, "kok bisa memutuskan untuk nikah di usia 23?"

    Well my friend, age and number are two different things. Waktu saya menikah, memang umur saya masih 23 tahun dan pak suami 26 tahun. Muda? Ya bisa dibilang muda banget untuk ukuran anak muda urban yang gaul dan edgy norma sosial tahun 2017 walaupun sebenarnya banyak juga teman-teman saya yang menikah di usia yang lebih muda.

    To Be Honest, saya bukan advokat nikah muda. Saya nggak akan  menyarankan nikah muda sama sekali pada siapapun. Nikahlah saat kamu siap, dan 'siap' disini nggak cuma siap secara jasmani tapi juga secara rohani. Rohani disini itu maksudnya begini, nikah itu nggak cuma untuk satu dua tahun dalam hidupmu, tapi untuk selamanya. Ketika kamu siap untuk hidup bersama, kamu harus siap menerima segala hal dalam rumah tanggamu dengan lapang dada. Lebih parah lagi, kamu harus siap untuk berpisah dan dipisahkan baik itu oleh jarak, oleh waktu dan oleh yang Maha Kuasa.

    Kenapa saya bisa bilang begitu? karena satu hal yang lupa diingat oleh orang-orang yang sudah menikah adalah untuk menjaga dan memelihara rasa cinta. You can't just skip being married for a day, even if you are truly sick of it.  Kita kadang terlalu sibuk mikirin uang belanja pasangan, mas kawin, perayaan, tapi kita tidak berpikir untuk menikah demi mengkultuskan cinta kasih dengan pasangan. Nikah itu pengorbanan bro!

    Jadi kenapa saya nikah muda? Karena saya sudah siap untuk berkorban baik lahir maupun batin demi pasangan saya, udah gitu aja. Jadi jangan liat bagian happy nya, liat bagian paitnya aja. Saya nggak punya alasan lain selain saya percaya dia akan menjaga hidup saya dan demikian pula sebaliknya.

    Duit bisa dicari, tapi teman hidup yang bisa diajak main PS bareng (dan rela ngalah supaya gue happy) cuma dateng sekali dalam satu kehidupan!


    Udah? Udah kejawab? Kalo belom silahkan comment dibawah, ingat, kalau pertanyaaannya nggak nggenah nggak akan saya jawab, huahahaha! bye bye guys, see you later, cus!

    Sudah baca judul postingan ini? Good, Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh rekan-rekan seumuran saya yang mungkin sedang galau-galaunya pengen nikah muda apadaya jodoh/budget/ortu gak sampai.

    Saya menikah hampir setahun yang lalu di usia yang sangat muda bagi saya, yaitu menjelang usia 23 tahun. Sialnya, karena kebanyakan teman-teman saya adalah anak muda urban, gaul dan edgy dan pada umumnya yang hidup dengan tekanan pertanyaan "kapan kawin" tiap kali kumpul-kumpul, saya jadi punya semacam Frequently Asked Question ala-ala website nge-hits 2017 dari gimana sih bedanya nikah sama nggak nikah sampai Am I happy with my decision. Wait, Am I happy?

    Penasaran? Let's find out.

    Diantara semua teman-teman seumuran dan seangkatan saya, saya termasuk yang menikah duluan. Duluan ya, bukan paling cepat, because I get the honor of being a Maid of Honor twice, for two of my best friend. Jadi, ketika saya menikah, saya sendiri merasa sangat natural ketika beberapa teman yang belum menikah started asking questions regarding marriage.

    Nggak masalah sih, saya juga bukan tipe yang keberatan ditanya-tanya--well, selama pertanyaannya masuk di akal sih. Tapi kalo sebulan bisa (minimal) 15 kali ditanya pertanyaan yang sama oleh orang-orang yang berbeda, ya lama kelamaan saya jenuh juga. Kalau boleh jujur ya, mungkin saya menulis ini karena lelah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan yang lebih pribadi such as gimana bisa cope dengan perbedaan budaya, mungkin bisa jadi another topic for another day. (Comment down below if you want me to write about this!)

    Okay, here goes my top 5 question:


    Apa Sih Bedanya Habis Menikah Dengan Sebelum Menikah?




    Hmm, ini sulit dijawab karena pak suami sendiri adalah figur yang nyaris nggak pernah absen dari kehidupan saya semasa pacaran, kecuali waktu kami LDR selama setahun selama pak suami bekerja di palembang. Yang paling menonjol jelas dari segi berbagi tanggung jawab dan berbagi kasur.

    Saya harus ngaku, it takes a very long time for me to get used to people in my home. Saya tipe yang privat banget kalo urusan tinggal serumah sama orang lain--kecuali sama temen yang udah kenal lebih dari 5 tahun atau sama keluarga inti. Kenapa begitu?

    Karena-saya-paling-ga-suka-disuruh-pake-celana. Udah gitu aja. Bagi saya, keberadaan orang lain dirumah means saya harus pake celana and I hate every kind of pants. Jeans, legging, trousers, pajama pants and even underpants. 

    Ya, jijik, i know. moving on!

    Saya juga nggak nyaman berbagi kasur dengan orang lain. Pokoknya tidur sekasur sama orang lain (bahkan sama ibu saya sendiri) adalah sesuatu yang enggak banget buat saya. Saya mending tidur di lantai daripada tidur sekasur sama orang, titik.

    Awal-awal nikah, saya sering banget kabur dari kasur buat tidur sendiri di sofa depan. Persetan dengan hubungan suami istri, saya nggak bisa tidur kalo ada makhluk hidup lain tidur di dekat saya, nafas di leher saya, ngorok di kuping saya, dan seterusnya. Pak suami selalu bangun tiap saya bangun dan membujuk saya balik untuk tidur di kasur. This goes on for a while.

    Hari ketiga setelah pernikahan kami, Pak Suami sukses menendang saya sampe jatuh dari kasur dan harus cari tukang urut karena leher saya keseleo (Terimakasih Pak Suami!) Habis itu, saya bener-bener jaga jarak kalo tidur. Sekarang sih udah lumayan ya, udah mulai bisa merem atau tidur nyenyak meskipun ada pak suami, coba dua bulan pertama pernikahan--duh, neraka banget deh buat saya!

    Ya intinya sih, semua bisa karena biasa, ya kan?

    Pernah Berantem Nggak Sih Mbak?



    Wah, jangan ditanya. Jawabannya, sering!

    Saya sering berantem sama Pak Suami. Berantemnya nggak yang pukul-pukulan apa cekek-cekekan gitu sih, cuma yang diem-dieman dan ngambek-ngambek gemes. Biasanya sih paling sering ribut karena salah paham atau emang karena Pak Suami lagi mens sensitif. Kalo udah gitu biasanya saya nyerah deh, cuma bisa ndusel ndusel lucu sambil pasang muka melas biar Pak Suami nggak ngambek lagi.

    Tapi kalo saya pikir-pikir, hari dimana saya nggak berantem sama pak suami sebenarnya masih jauh lebih banyak daripada hari berantem, jadi yaaa menurut saya masih wajar-wajar aja ya kalo kita ribut-ribut--sama kakak adik yang udah 190872391 tahun bareng-bareng aja kita masih sering ribut, apalagi sama suami yang baru beberapa tahun--oke comparison nya lebay.

    Kalau saya punya dua pegangan pas ribut sama suami, satu, kalo sampe berantem berarti dua-duanya salah, dan dua, jangan pernah ngumbar kata "cerai". Cerai pale lu peyang, dikira cerai nggak pake duit? Kawinan aja belom balik modal bisa-bisanya lu ngomong cera-cere-cera-cere.

    Cuma ya diliat-liat juga, jaman pacaran kayanya ngambek-ngambek gemes gitu biasa banget. Pas marah, tinggal kabur terus nggak jawab sms telfon dll kan gampang. Kalau udah nikah, boro-boro deh kabur-kaburan, berhubung kita tinggalnya di rumah petak ya isinya lu-lagi-lu-lagi. Apa nggak bubar?

    Kok Belom Punya Anak? Nggak Mau Buru-Buru? 



    Ucet, lo kira punya anak itu racing pake buru-buru?

    Enggak, saya dan pak suami belom kepikiran untuk punya anak. We get our hands full with our dogs. Saya pernah keguguran sekali setelah 6 bulan menikah karena saya bermasalah dengan organ reproduksi saya, but that's about it, that's the closest i've ever been to parenthood. 

    Punya anak kan nggak cuma masalah "eh gue punya duit, gue udah nikah, gue mau beranak", enggak kayak gitu. Banyak dong yang harus disiapin, dari masa depannya si anak, sampai mental orangtua yang harus berubah ketika sudah punya anak. Banyak emang yang bilang, nanti rejeki dan kelakuan akan berubah sendiri setelah punya anak, but seeing how we are always fending for ourselves without our parents, saya sih nggak yakin orangtua akan berubah karena anak. Adaptasi iya, tapi kalo berubah? hmmm *nyengir kuda tanda tak yakin*

    Ada kan tuh yang bilang, rejekinya anak ada aja datengnya? Iya sih emang, tapi jangan lupa, rejeki itu juga harus dicari! Kalo Tuhan ngasih rejeki tau-tau jatoh dari langit, enak kali hidup manusia ini.

    Jadi secara psikologis dan materi, kita belom siap. Kalo suatu saat dikasih anak yaudah, kalo nggak dikasih yaudah. Simpel kan? Hidup itu nggak melulu soal lahir-sekolah-kuliah-kerja-nikah-punya anak-mati-repeat.

    Kalau Dirumah Lagi Berduaan Biasanya Ngapain Aja?



    Makan, tidur, kerja, main game, repeat. Mau ngapain lagi? 
    Engga sih, sebenernya saya ngerti, ini pertanyaan arahnya ke "nggak bosen apa berdua aja?" Jawabannya yaaaa, enggak dong. Kalo sampe bisa bosen berduaan, jangan nikah, hahaha. 

    Saya sering bosan sama keadaan, tapi belum pernah bosan sama pak suami. Kalau teman-teman yang udah sering jalan sama saya sih pasti tahu, kalo saya adalah magnet kejadian-kejadian aneh soalnya golongan darah saya AB. Katanya sih kalo orang dengan golongan darah AB itu hidupnya weird. Untungnya saya nikah sama orang yang golongan darahnya AB juga, jadi rasanya sih saya nggak weird-weird amat. 

    Pernah gak kamu mau makan mie malah nyasar ke madrasah? Belom kan? Atau mau bayar belanjaan tapi malah ngeluarin koin Timezone? well, it's a daily life for me. And since I get married to an equally strange men, you doubled the stupidity. Do the math.

    Yaaa, tapi namanya baru setahun nikah, sampai bisa bosen ya keterlaluan juga kayanya?

    Kenapa Sih Nikah Muda?


    Nah ini nih pertanyaan sejuta umat yang paling sering ditanyain ke saya. Sebagai anak muda urban nan gaul nan edgy yang pikniknya jauh dan pulangnya malam, saya sering ditanya, "kok bisa memutuskan untuk nikah di usia 23?"

    Well my friend, age and number are two different things. Waktu saya menikah, memang umur saya masih 23 tahun dan pak suami 26 tahun. Muda? Ya bisa dibilang muda banget untuk ukuran anak muda urban yang gaul dan edgy norma sosial tahun 2017 walaupun sebenarnya banyak juga teman-teman saya yang menikah di usia yang lebih muda.

    To Be Honest, saya bukan advokat nikah muda. Saya nggak akan  menyarankan nikah muda sama sekali pada siapapun. Nikahlah saat kamu siap, dan 'siap' disini nggak cuma siap secara jasmani tapi juga secara rohani. Rohani disini itu maksudnya begini, nikah itu nggak cuma untuk satu dua tahun dalam hidupmu, tapi untuk selamanya. Ketika kamu siap untuk hidup bersama, kamu harus siap menerima segala hal dalam rumah tanggamu dengan lapang dada. Lebih parah lagi, kamu harus siap untuk berpisah dan dipisahkan baik itu oleh jarak, oleh waktu dan oleh yang Maha Kuasa.

    Kenapa saya bisa bilang begitu? karena satu hal yang lupa diingat oleh orang-orang yang sudah menikah adalah untuk menjaga dan memelihara rasa cinta. You can't just skip being married for a day, even if you are truly sick of it.  Kita kadang terlalu sibuk mikirin uang belanja pasangan, mas kawin, perayaan, tapi kita tidak berpikir untuk menikah demi mengkultuskan cinta kasih dengan pasangan. Nikah itu pengorbanan bro!

    Jadi kenapa saya nikah muda? Karena saya sudah siap untuk berkorban baik lahir maupun batin demi pasangan saya, udah gitu aja. Jadi jangan liat bagian happy nya, liat bagian paitnya aja. Saya nggak punya alasan lain selain saya percaya dia akan menjaga hidup saya dan demikian pula sebaliknya.

    Duit bisa dicari, tapi teman hidup yang bisa diajak main PS bareng (dan rela ngalah supaya gue happy) cuma dateng sekali dalam satu kehidupan!


    Udah? Udah kejawab? Kalo belom silahkan comment dibawah, ingat, kalau pertanyaaannya nggak nggenah nggak akan saya jawab, huahahaha! bye bye guys, see you later, cus!
    . Minggu, 12 Februari 2017 .

    15 komentar

    1. And I love your perspective Mbak.
      Tulisanmu ini sangat logis dan gak promote untuk menikah karena ditekan-sama-masyarakat dan semua orang pada beli buku menikah-muda-itu-hore. Please, tiap orang punya latar belakang dan pertimbangan masing-masing, kenapa menikah muda even kenapa tidak menikah. Aku sedih kalau ada omongan pengen buru-buru nikah karena lihat pesta pernikahan yg dream wedding dll dsb. Mbok ! Nanti ketemu sama bayar tagihan listrik, suami yg bandel dikasih tau pasta gigi kudunya ditutup, engsel kamar mandi jebol, nangis-nangislah mereka :|

      BalasHapus
      Balasan
      1. terimakasih, terimakasih :))

        anyway saya juga nggak suka sama buku 'nikah-muda-itu-hore' atau 'putusin-aja-pacarmu-karena-insert-alasan-apapun-kalo-serius-pasti-nikah' karena kalau saya serius sama orang mah, saya bakal pikirin matang-matang keputusan saya untuk nikah sama orang itu. emang dikiranya mutusin mau nikah apa nggak kaya mutusin mau kentut apa enggak? kan gila.

        jujur saya pengen noyor orang-orang yang pada promote nikah muda itu. dikira nikah tinggal nikah, mau anak tinggal bikin? tar kalo sampe baby blues siapa yang mau tanggung jawab cobak?

        Hapus
    2. Tau gak gi? Pasti gak tahu deh, aku kan belum cerita. hahaha
      Jadi, Gi. Sebelum aku baca artikelmu ini aku sedang bersama temanku seorang editor yang punya latar belakang psikologi.
      Padanya aku bertanya, "aku sering mencari bentuk lain untuk memenuhi hasrat ku untuk berkembang, apakah ini juga berpengaruh terhadap hubunganku dengan pacar?"
      Jawabannya, "ini masalah kesetaraan. kalau orang jaman sekarang itu nyambung. Pernikahan itu akan berakhir pada persahabatan karena cinta bisa saja mati."
      Dan tulisanmu adalah buktinya.
      Berarti aku masih normal ketika aku masih memilih orang yang bener-bener nyambung denganku demi persahabatan yang kekal. halah.

      BalasHapus
      Balasan
      1. memilih itu penting!

        nikah itu bukan masalah usia, materi maupun cinta. wong jodoh kita sudah digariskan tuhan (dan gak bisa diganggu gugat sama makhluk lainnya), ya mau dikasinya kapan suka-suka tuhan lah~ #ngeloyor. kalo orang lain nyuruh kita berhenti memilih jodoh karena usia-lah, gaya hidup-lah, materi-lah, nggak sekalian aja nyuruh kita berhenti percaya sama takdir tuhan? suka aneh emang manusia.

        lagian cinta-cintaan, hellooooo 2017 masih ngomongin cinta? beli beras pake duit, ngurus rumah pake kerjasama (dan lebih banyak duit), ndidik anak pake ilmu (punya duit juga membantu sih) jadi ya yang realistis-realistis aja lah.

        buat apa punya pasangan yang mengekang, nggak encourage kita untuk jadi orang yang lebih baik? justru kalau pasangan yang baik adalah pasangan yang bisa mengencourage pasangannya untuk berkarya & berkembang, bukan cuma berkembang biak thok.

        Hapus
    3. Kaka Agi!!! Haha pertanyaan pertama itu jawabannya kok kondisimu kaya aku. Maksudnya, aku kan blm nikah suka kebayang, nanti kalau kagok gimana? Sekasur sm orang gimana? Lha aku sekasur sama ibuku aja ga suka wkwk. Terus sama, aku orang yg privat banget, suka tidur pake baju asal wkwkw. Nanti anaknya banyak gimana . Halaaaah. Hhahaha

      BalasHapus
      Balasan
      1. dulu sebelum nikah aku udah jelasin (berjuta-juta kali) sama pak suami kalo aku ngga suka dipegang, gak suka ada orang didekat aku kalo lagi dikamar mandi, dll dan dia cuma ketawa aja dianggapnya aku becanda. Pas awal-awal nikah dia kaget karena kalo aku mau fufi (ganti huruf f dengan p) dia harus ada di radius 10 m dari kamar mandi, soalnya kalo aku denger ada orang disekelilingku pas fufi... dijamin aku bisa batal fufi dan sembelit berhari-hari.

        eh soal pake baju asal ituuuhhh... ternyata hanya berlaku di awal-awal pernikahan. Awal-awal aja kalo pake baju asal kaya diliatin, digodain dll, lama-lama dia biasa aja karena akunya ngga mempan digodain (secara aku bajunya asal terus, ya bodo namanya juga dirumah) kalo soal anak banyak, itumah rejeki cuma kitanya kudu siap terima rejeki banyak, hahaha!

        tips: beli guling dan bantal yang banyak. bikin benteng-bentengan dulu kalo mau bobo. good marriage begins with good night sleep! #halah

        Hapus
    4. Sampe ditendang jatuh dari kasur? Hororr

      BalasHapus
      Balasan
      1. ...dan tukang urut pun turut menjadi saksi kekerasan rumah tangga jenis baru ini

        Hapus
    5. hihihi sukaaak <3

      Nikah itu masalah siap nggak siap ajah. Siap lahir batin wkwkw.

      Duh kalau temen temen aku tanya yang dirumah berdua ngapain aja pasti bukan ngejurus ke "apa nggak bosen?" tapi malah ngejurus ke hal lain. Hahahahaa.

      Kalau menurutku sih 23 itu normal :D
      Malahan aku pernah bilang mau nikah umur 27 aja sama ibu dimarahin, karena untuk ukuran cewek katanya itu terlalu tua.

      "Lha emang pas nya berapa buk?" . "23-25 lah"
      gitu.

      BalasHapus
      Balasan
      1. hahaha iya, emang buat sebagian orang 23-25 itu paling pas. Kalo saya sih jujur aja, ngerasanya paling pas itu malah sekitar 26-28. Soalnya disitu kan biasanya karir sudah mulai jelas, tujuan hidup juga udah keliatan. Di usia 23 ini saya masih jack of all trades alias masih wara wiri, mau sana sini. Mungkin ya jaman dulu kan orang umur 23-25 itu udah kerja, udah mapan, sementara sini malah baru lulus kuliah hahaha.

        Hapus
    6. saya tidak bertanya deh mbak hihi tapi melihat jawabannya sangat menarik banget ya... itulah kehidupan dan kehidupan tiap orang berbeda, jadi ya di nikmati saja

      BalasHapus
    7. Kok belum punya anak... ini pertanyaan yang saya dapetin sekarang Agi, setelah sebelumnya.. "Kapan Kawin" :p
      love your sharing Gi, salam kenal ya

      BalasHapus
      Balasan
      1. salam kenal mbak... saya juga sering dapet pertanyaan yang sama, hahaha ditanggepin becanda aja pokoknya

        Hapus
    8. Untuk perempuan usia 23 tahun dengan pernikahan yang masih termasuk awal, ini jawaban2 yang bijak sekali, mba. Kena tendang sama Pak Suami, waduhhh *izinkan saya ngakak* masalah nikah muda dan anak, ini semua nggak lepas dari takdir Tuhan. Saya suka bagian terakhir, uang bisa dicari, tapi teman main PS bareng, cuma dateng sekali dalam satu kehidupan. Terkadang melihat yang mewah, jadi lupa kalau pernikahan itu merupakan daily life untuk happy bareng. Moga langgeng selalu ya, mba dan suami :)

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69