• about me
  • menu
  • categories
  • Agi Tiara Pranoto

    Agi Tiara Pranoto

    Seorang Blogger Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Selain menulis, dia juga sangat hobi bermain game FPS. Cita-citanya adalah mendapatkan passive income sehingga tidak perlu bekerja di kantor, apa daya selama cita-cita itu belum tercapai, dia harus menikmati hari-harinya sebagai mediator kesehatan.

    Balada Asisten Rumah Tangga: How To Deal With ART For Dummies



    Seumur hidup saya, belum pernah ada urusan yang lebih bikin kepala pusing ketimbang urusan Asisten Rumah Tangga alias A ER TE atau ART, whatever. Terserah deh mau ada kenaikan listrik, kenaikan pajak, kenaikan ini-itu, karena semua keribetan dan keributan itu nggak akan ada bandingannya dibanding ngurusin si bibik ketika beliau minta naik gaji atau malah minta pulang!
    Berhubung saya dibesarkan di lingkungan yang nyaris mustahil untuk hidup tanpa ART (think Ibukota, perumahan kelas menengah ke atas, dengan rasio penghuni dibanding luas rumah yang agak jomplang, plus penghuni rumah yang cuma bisa ngobrol satu sama lain pas weekend atau pas piala dunia) iya, separah itu.

    Ibu dan bapak saya cinta mati sama jasa ART. Saking cinta matinya, ketika anaknya akhirnya punya rumah sendiri, mereka dengan senang hati membayar ART untuk tinggal dirumah anaknya yang seukuran rumah KPR dengan cicilan paling murah dan tenggat waktu paling lama. Padahal, saya jarang dirumah, baju jarang ganti, rumah jarang berdebu dan WC jarang dipakai. Terus apa yang mau dibenahin? 

    Nah, selama 3 tahunan lebih saya menggunakan jasa ART dirumah saya sendiri + belasan tahun tinggal bersama ART di rumah orang tua, ada beberapa pengalaman menarik yang bisa saya bagi bersama pemirsah. Pengalaman apakah ituh? 

    1. Pastikan Identitas Mbak/Mas ART jelas dan tidak punya latar belakang kriminal

    Ini serius. 
    Karena saya pernah sekali kemalingan dan dimaling sama ART sendiri. Bahkan celengan saya yang isinya 90% paperclip & printilan gak jelas + 10% uang koin pun digondol. Iya, celengan bonus majalah bobo pula! *harap_bersabar_ini_ujian_mode_on*

    Jadi ceritanya bapak ibu saya entah kenapa lagi kreatif. Setelah lebaran, ART kami kan nggak balik lagi, dan karena harga ART pasca lebaran suka nggak manusiawi, akhirnya bapak saya entah gimana caranya bisa ketemu dengan si mbak oknum ini. 

    Baru satu hari dirumah, si mbak berani nyemilin yogurt nya mama, padahal sudah ada jatah di kulkasnya sendiri, terus nuduh saya yang minum (dimana kalo saya berani minum yogurt, saya siap diare) dan lucunya lagi si mama percaya aja--ini fix membuat saya bertanya-tanya apakah saya serakus itu dimata orang rumah.

    Untungnya di rumah ada satu lagi suster yang mengurus mendiang nenek saya yang kebetulan lumpuh. Di hari kedua, si mbak suster mergokin si mbak oknum lagi nggratilin cincin dan kalung nenek saya pas orang rumah semua lagi nggak ada. Mbak suster pun langsung nelfon ibu saya, dan kita serumah langsung cus pulang.

    Pas kita pulang, mbak oknum bilang mau pergi ke indomaret, tapi mama sudah telanjur curiga karena mbak oknum ke indomaret aja bawa tas. Pertama-tama dipancing bawa apa nggak ngaku, mungkin karena mbak suster sudah telanjur bete, ditariklah itu tas sampe jatuh terus dibuka. Pas dibuka muncullah celengan bobo legendaris saya dan sejumlah uang plus perhiasan plus hape mbak suster. 

    Bisa ditebak gak kelanjutannya? mereka berdua jambak-jambakan aja dong didepan rumah. Asli deh. Akhirnya si mbak oknum dibawa ke kantor polisi. Sampai sana...ketauan deh, si mbak itu sudah buronan berbulan-bulan. Modusnya? Pura-pura jadi ART, begitu lengah, seisi rumah digasrak!

    Moral of the story? Kalau mau cari ART, cari yang berreferensi aja atau minimal kita pegang kontak keluarganya, takutnya kenapa-kenapa kan. Pegang fotokopi KTPnya juga nggak masalah. Mending ribet dikit daripada celengan bobonya dimaling.

    2. Ketika Konflik Rumah Tangga ART Ikut Pindah ke Rumah Kita

    ART pertama saya di rumah saya sendiri adalah mbak-mbak yang kerja sebagai pelarian karena dia 'ditarik' oleh bapak ibunya ke kampung halamannya (yang cuma 500 m dari rumah saya) setelah ketahuan kawin lari dengan supir taksi di Jakarta.

    Seminggu pertama, si mbak tiap pagi nangis di kamarnya. (iya, si mbak tingal di rumah saya)
    Akhirnya di awal minggu kedua, sang suami datang dari Jakarta. Awalnya saya ngga tahu kalo suaminya datang sampai saya di telepon oleh tetangga karena si mbak 'masukin cowok ke rumah' dan sudah diinterogasi warga--if you know what I mean,

    Dan, seolah-olah konflik belum berakhir, datanglah orangtua si mbak dan terjadilah percekcokan luar biasa dirumah. Yang punya rumah? Luar biasa pusing. Akhirnya nggak sampai dua minggu, si mbak kabur ke Jakarta bersama suaminya. 

    Ada juga ART saya yang kebetulan sedang dalam proses cerai. Wah, drama pengadilannya luar biasa, sampai anak-anaknya datang kerumah menenangkan ibunya yang menangis. Pengacaranya juga sampai datang kerumah. Yang punya rumah? ya, ngasi space lah! Ntar kalo terlalu ikut campur malah ngga enak kan?

    Cuma, kadang-kadang saya ngerasa kalo yang berkonflik (i.e suaminya ART or keluarganya) sampe ikutan nginep dirumah... rada risih juga kan ya. Apalagi saat itu saya tinggal sendiri, jadi rasanya gimana gitu. Tipsnya adalah, jujurlah dengan si mbak, tapi jujur juga dengan kata-kata yang baik. Draw the line, sampai seberapa ia bisa membawa konfliknya ke rumah kita. Kalau perlu disaat-saat si mbak berkonflik, mending kita ongkosin si mbak untuk liburan seminggu dan menyelesaikan semua masalahnya ketimbang otak kita ikutan berkonflik juga.

    Ingat, kesehatan jiwa diatas kesehatan dompet!


    3. Cinta Lokasi = Ditinggal Pergi

    Nggak cuma konflik rumah tangga aja yang bisa bikin hubungan kita dan ART sedikit awkward. ART yang belum nikah juga bisa bikin kita mewek-mewek patah hati karena... mereka terlibat cinta lokasi. Soal yang satu ini kayanya umum banget buat HAMPIR semua ART terutama yang single ya?

    Yang sedih itu, kalo udah dapet ART yang cuchok markhochok banget sama kita, tapi terus akhirnya si mbak terlibat cinlok dengan pemuda desa setempat (seringnya sih tukang bangunan di deket rumah--entah kenapa, setelah saya hitung sudah 7 orang ART saya yang cinlok dengan tukang bangunan)

    Banyak yang bilang, saat ART terlibat cinlok, entah kenapa tiba-tiba si mbak yang biasanya tampil apa adanya mendadak jadi super duper dandan dan bahkan seringkali kita menyebutnya dengan sebutan genit. Menurut saya, rada nggak etis ya, kalo misalnya kita melarang-larang si mbak ART untuk dandan. Siapa sih di dunia ini yang nggak pengen tampil cantik, ya kan? Cuma kalau sudah soal berpakaian terbuka biasanya saya sering mengingatkan sih. Bukannya apa-apa, kalau dia kenapa-kenapa, mau bilang apa sama orangtuanya dikampung kan?

    Yang bikin sebel kalo cinlok itu adalah, mbak ART kerjanya jadi mulai males-malesan dan kerjaannya pacaran mulu. Berhubung dulu di rumah ortu kalo malem minggu memang kita semua lebih banyak dirumah, ya ngga apa-apa mbak ART malem mingguan tapi tetap dengan jam malam. Pacarnya pun nggak boleh masuk rumah, cuma boleh ngantar sampai depan saja. Berhubung bapak saya galaknya ala ala bapak kosan tahun 80an, akhirnya ya ngga ada yang berani protes, hahaha.

    Nah kalo pengalaman saya setelah tinggal sendiri malah lain lagi. Si mbak ART cinloknya bukan sama kuli bangunan atau apa melainkan sama suami tetangga yang notabene berprofesi sebagai karyawan swasta bergaji luar biasa. Mati gak tuh?

    Akhirnya muncullah drama luar biasa dimana si mbak ART dan bapak karyawan swasta kabur bareng! Istrinya dateng kerumah, mencak-mencak, daaaan.... saya pun speechless mau bilang apa lagi.

    Kesimpulan: selain harus tegas dan jujur soal boundaries sama ART, kita juga sedikit banyak harus peduli dengan pergaulan si mbak ART diluar rumah. Baru saya sadar kenapa mbak ART saya ini paling seneng kalo saya suruh belanja ke pasar... rupanya... kepasarnya 10 menit, sisanya kerumah si Pak Karyawan pas istrinya gak ada.

    4. Antara Gaji dan Ongkos dan Hadiah

    Berdasarkan pengalaman saya, lebih banyak ART yang memilih untuk dikasi bonus dalam bentuk uang ketimbang barang. Iya gak ibu ibu???

    Kalau pengalaman saya sih, ART itu rata-rata sudah punya target dan selera barang yang mereka inginkan masing-masing, atau malah pengen extra cash buat dikirim ke kampung. Nah oleh karena itu, saya seringkali membatasi pemberian hadiah-hadiah (kecuali oleh-oleh ya, misalnya saya habis trip kemana, pasti mereka kebagian oleh-oleh) sisanya pas lebaran saya seringkali kasih bonus cash atau ongkos pulang saja.

    Cuma, diluar lebaran, ongkos pulang untuk kepentingan pribadi ditanggung sendiri. Kenapa demikian? Soalnya, kalo ngga gitu pasti ada aja yang ngelunjak minta ongkos jalan dll. Iya kalo balik ke rumah saya, kalo nggak? *nangis darah*

    Selain hadiah, yang sering bikin ribet lagi adalah masalah toiletries. Saya seringnya sih kasih cash aja untuk mereka beli sabun dan lain-lain, dengan catatan: tetap harus mandi dan pake deodoran. Yang ini wajib, karena saya ngga mau rumah petak saya dipenuhi dengan semerbak bau ketiak! 

    Kenapa nggak saya beliin? Oh well, satu saya males ribet mikirin si mbak mau mandi pake sabun wangi apa, yang kedua, biarlah mereka mengatur keuangannya sendiri. Pokoknya semua semua sudah dijatah, jadi nggak ada lagi alasan "majikan saya pelit, beliin sabunnya yang 1000an!" pokoknya nggak ada.

    5. "Bu, itu mbaknya Bu XX gajinya sekian..."

    Nah, ini adalah kode alus yang berarti mbak ART minta kenaikan gaji. Biasanya, ART yang curhat seperti ini adalah yang sering 'nenangga' alias bersosialisasi.

    Ada satu mantan ART ibu saya yang merupakan 'sosialita lokal' di komplek. Sore hari selepas ashar, para ART di komplek akan berkumpul didepan rumah ibu saya sambil berbincang ini itu, dari gosip seputar majikan sampai gosip seputar gaji. Kenapa saya tahu? Karena saya sering nguping, udah gitu aja. 

    Nah, biasanya setelah ada pembicaraan soal si mbak A gajinya sekian, mbak B gajinya sekian, malemnya akan ada yang curhat ke ibu saya. Nggak jauh-jauh curhatannya, pasti seputar gaji. Makanya saya paham kenapa ada beberapa ibu-ibu yang nggak ngasih ART nya untuk nenangga karena potensi curhat seputar gaji ini.

    Biasanya sih, reaksi ibu saya ya seadanya, misalnya "ooh gitu" atau "oh iya jelas, si mbak A itu kan sudah ngikut ibu X selama 3 tahun, kalau kamu sudah ngikut ibu 3 tahun, gaji kamu ya lebih dong dari itu" yang biasanya akan diikuti oleh si mbak yang manggut-manggut, entah kenapa. 

    Kenapa bisa gitu? karena dirumah saya, kenaikan gaji dilakukan bertahap, dan dari awal sudah dijelaskan. Kalau misalnya dalam 3 bulan kerjaannya bagus, rapi, nanti akan naik gaji secara berkala. Fasilitas rumah terbuka untuk si mbak gunakan, misalnya TV dilantai bawah bebas mereka gunakan, di dapur pun ada kulkas dan lemari khusus untuk mereka. misalnya pun mereka mau makan indomie atau apa, silahkan saja ambil dari lemari keluarga. Makanan pun sama kok, jadi mereka makan apa yang kita makan, makanya kalau ART dirumah saya nggak mau belajar masak ya rugi sendiri, hahaha.

    Soal cuci baju pun, mereka juga boleh pake mesin cuci dirumah, jadi harusnya sih nggak ada alasan-alasan 'nyonyah kejam gaji saya nggak pernah dinaikin' lha yaaa. Tapi kan, ada memang rumah yang tidak bisa seperti itu karena alasan-alasan tertentu, ya kita harus bisa memberikan pengertian baik-baik sama si mbak, bahwa kondisi setiap rumah itu beda-beda. 



    Sekarang ini, saya sudah nggak lagi pake jasa ART. Selain udah nggak sanggup bayarnya, rumah saya sekarang luasnya cuma sepetak, jadi bisa lah yaaa dikerjain sendiri diwaktu senggang. Biasanya, saya sama suami gantian bersih-bersih rumah. 

    Well, apapun itu, yang terpenting dari hubungan antara ART dan majikan adalah saling pengertian dan saling memahami ya! Kalau hubungan kita dan ART tidak didasari dengan perasaan saling memahami, otomatis urusan kerjaan rumah nggak bisa maksimal dong? Hehehe.

    Semoga aja pengalaman ini bisa membantu para nyonya-nyonya muda diluar sana yang sedang berjibaku dengan dunia per-ART-an. Tetap semangat!





    Seumur hidup saya, belum pernah ada urusan yang lebih bikin kepala pusing ketimbang urusan Asisten Rumah Tangga alias A ER TE atau ART, whatever. Terserah deh mau ada kenaikan listrik, kenaikan pajak, kenaikan ini-itu, karena semua keribetan dan keributan itu nggak akan ada bandingannya dibanding ngurusin si bibik ketika beliau minta naik gaji atau malah minta pulang!
    Berhubung saya dibesarkan di lingkungan yang nyaris mustahil untuk hidup tanpa ART (think Ibukota, perumahan kelas menengah ke atas, dengan rasio penghuni dibanding luas rumah yang agak jomplang, plus penghuni rumah yang cuma bisa ngobrol satu sama lain pas weekend atau pas piala dunia) iya, separah itu.

    Ibu dan bapak saya cinta mati sama jasa ART. Saking cinta matinya, ketika anaknya akhirnya punya rumah sendiri, mereka dengan senang hati membayar ART untuk tinggal dirumah anaknya yang seukuran rumah KPR dengan cicilan paling murah dan tenggat waktu paling lama. Padahal, saya jarang dirumah, baju jarang ganti, rumah jarang berdebu dan WC jarang dipakai. Terus apa yang mau dibenahin? 

    Nah, selama 3 tahunan lebih saya menggunakan jasa ART dirumah saya sendiri + belasan tahun tinggal bersama ART di rumah orang tua, ada beberapa pengalaman menarik yang bisa saya bagi bersama pemirsah. Pengalaman apakah ituh? 

    1. Pastikan Identitas Mbak/Mas ART jelas dan tidak punya latar belakang kriminal

    Ini serius. 
    Karena saya pernah sekali kemalingan dan dimaling sama ART sendiri. Bahkan celengan saya yang isinya 90% paperclip & printilan gak jelas + 10% uang koin pun digondol. Iya, celengan bonus majalah bobo pula! *harap_bersabar_ini_ujian_mode_on*

    Jadi ceritanya bapak ibu saya entah kenapa lagi kreatif. Setelah lebaran, ART kami kan nggak balik lagi, dan karena harga ART pasca lebaran suka nggak manusiawi, akhirnya bapak saya entah gimana caranya bisa ketemu dengan si mbak oknum ini. 

    Baru satu hari dirumah, si mbak berani nyemilin yogurt nya mama, padahal sudah ada jatah di kulkasnya sendiri, terus nuduh saya yang minum (dimana kalo saya berani minum yogurt, saya siap diare) dan lucunya lagi si mama percaya aja--ini fix membuat saya bertanya-tanya apakah saya serakus itu dimata orang rumah.

    Untungnya di rumah ada satu lagi suster yang mengurus mendiang nenek saya yang kebetulan lumpuh. Di hari kedua, si mbak suster mergokin si mbak oknum lagi nggratilin cincin dan kalung nenek saya pas orang rumah semua lagi nggak ada. Mbak suster pun langsung nelfon ibu saya, dan kita serumah langsung cus pulang.

    Pas kita pulang, mbak oknum bilang mau pergi ke indomaret, tapi mama sudah telanjur curiga karena mbak oknum ke indomaret aja bawa tas. Pertama-tama dipancing bawa apa nggak ngaku, mungkin karena mbak suster sudah telanjur bete, ditariklah itu tas sampe jatuh terus dibuka. Pas dibuka muncullah celengan bobo legendaris saya dan sejumlah uang plus perhiasan plus hape mbak suster. 

    Bisa ditebak gak kelanjutannya? mereka berdua jambak-jambakan aja dong didepan rumah. Asli deh. Akhirnya si mbak oknum dibawa ke kantor polisi. Sampai sana...ketauan deh, si mbak itu sudah buronan berbulan-bulan. Modusnya? Pura-pura jadi ART, begitu lengah, seisi rumah digasrak!

    Moral of the story? Kalau mau cari ART, cari yang berreferensi aja atau minimal kita pegang kontak keluarganya, takutnya kenapa-kenapa kan. Pegang fotokopi KTPnya juga nggak masalah. Mending ribet dikit daripada celengan bobonya dimaling.

    2. Ketika Konflik Rumah Tangga ART Ikut Pindah ke Rumah Kita

    ART pertama saya di rumah saya sendiri adalah mbak-mbak yang kerja sebagai pelarian karena dia 'ditarik' oleh bapak ibunya ke kampung halamannya (yang cuma 500 m dari rumah saya) setelah ketahuan kawin lari dengan supir taksi di Jakarta.

    Seminggu pertama, si mbak tiap pagi nangis di kamarnya. (iya, si mbak tingal di rumah saya)
    Akhirnya di awal minggu kedua, sang suami datang dari Jakarta. Awalnya saya ngga tahu kalo suaminya datang sampai saya di telepon oleh tetangga karena si mbak 'masukin cowok ke rumah' dan sudah diinterogasi warga--if you know what I mean,

    Dan, seolah-olah konflik belum berakhir, datanglah orangtua si mbak dan terjadilah percekcokan luar biasa dirumah. Yang punya rumah? Luar biasa pusing. Akhirnya nggak sampai dua minggu, si mbak kabur ke Jakarta bersama suaminya. 

    Ada juga ART saya yang kebetulan sedang dalam proses cerai. Wah, drama pengadilannya luar biasa, sampai anak-anaknya datang kerumah menenangkan ibunya yang menangis. Pengacaranya juga sampai datang kerumah. Yang punya rumah? ya, ngasi space lah! Ntar kalo terlalu ikut campur malah ngga enak kan?

    Cuma, kadang-kadang saya ngerasa kalo yang berkonflik (i.e suaminya ART or keluarganya) sampe ikutan nginep dirumah... rada risih juga kan ya. Apalagi saat itu saya tinggal sendiri, jadi rasanya gimana gitu. Tipsnya adalah, jujurlah dengan si mbak, tapi jujur juga dengan kata-kata yang baik. Draw the line, sampai seberapa ia bisa membawa konfliknya ke rumah kita. Kalau perlu disaat-saat si mbak berkonflik, mending kita ongkosin si mbak untuk liburan seminggu dan menyelesaikan semua masalahnya ketimbang otak kita ikutan berkonflik juga.

    Ingat, kesehatan jiwa diatas kesehatan dompet!


    3. Cinta Lokasi = Ditinggal Pergi

    Nggak cuma konflik rumah tangga aja yang bisa bikin hubungan kita dan ART sedikit awkward. ART yang belum nikah juga bisa bikin kita mewek-mewek patah hati karena... mereka terlibat cinta lokasi. Soal yang satu ini kayanya umum banget buat HAMPIR semua ART terutama yang single ya?

    Yang sedih itu, kalo udah dapet ART yang cuchok markhochok banget sama kita, tapi terus akhirnya si mbak terlibat cinlok dengan pemuda desa setempat (seringnya sih tukang bangunan di deket rumah--entah kenapa, setelah saya hitung sudah 7 orang ART saya yang cinlok dengan tukang bangunan)

    Banyak yang bilang, saat ART terlibat cinlok, entah kenapa tiba-tiba si mbak yang biasanya tampil apa adanya mendadak jadi super duper dandan dan bahkan seringkali kita menyebutnya dengan sebutan genit. Menurut saya, rada nggak etis ya, kalo misalnya kita melarang-larang si mbak ART untuk dandan. Siapa sih di dunia ini yang nggak pengen tampil cantik, ya kan? Cuma kalau sudah soal berpakaian terbuka biasanya saya sering mengingatkan sih. Bukannya apa-apa, kalau dia kenapa-kenapa, mau bilang apa sama orangtuanya dikampung kan?

    Yang bikin sebel kalo cinlok itu adalah, mbak ART kerjanya jadi mulai males-malesan dan kerjaannya pacaran mulu. Berhubung dulu di rumah ortu kalo malem minggu memang kita semua lebih banyak dirumah, ya ngga apa-apa mbak ART malem mingguan tapi tetap dengan jam malam. Pacarnya pun nggak boleh masuk rumah, cuma boleh ngantar sampai depan saja. Berhubung bapak saya galaknya ala ala bapak kosan tahun 80an, akhirnya ya ngga ada yang berani protes, hahaha.

    Nah kalo pengalaman saya setelah tinggal sendiri malah lain lagi. Si mbak ART cinloknya bukan sama kuli bangunan atau apa melainkan sama suami tetangga yang notabene berprofesi sebagai karyawan swasta bergaji luar biasa. Mati gak tuh?

    Akhirnya muncullah drama luar biasa dimana si mbak ART dan bapak karyawan swasta kabur bareng! Istrinya dateng kerumah, mencak-mencak, daaaan.... saya pun speechless mau bilang apa lagi.

    Kesimpulan: selain harus tegas dan jujur soal boundaries sama ART, kita juga sedikit banyak harus peduli dengan pergaulan si mbak ART diluar rumah. Baru saya sadar kenapa mbak ART saya ini paling seneng kalo saya suruh belanja ke pasar... rupanya... kepasarnya 10 menit, sisanya kerumah si Pak Karyawan pas istrinya gak ada.

    4. Antara Gaji dan Ongkos dan Hadiah

    Berdasarkan pengalaman saya, lebih banyak ART yang memilih untuk dikasi bonus dalam bentuk uang ketimbang barang. Iya gak ibu ibu???

    Kalau pengalaman saya sih, ART itu rata-rata sudah punya target dan selera barang yang mereka inginkan masing-masing, atau malah pengen extra cash buat dikirim ke kampung. Nah oleh karena itu, saya seringkali membatasi pemberian hadiah-hadiah (kecuali oleh-oleh ya, misalnya saya habis trip kemana, pasti mereka kebagian oleh-oleh) sisanya pas lebaran saya seringkali kasih bonus cash atau ongkos pulang saja.

    Cuma, diluar lebaran, ongkos pulang untuk kepentingan pribadi ditanggung sendiri. Kenapa demikian? Soalnya, kalo ngga gitu pasti ada aja yang ngelunjak minta ongkos jalan dll. Iya kalo balik ke rumah saya, kalo nggak? *nangis darah*

    Selain hadiah, yang sering bikin ribet lagi adalah masalah toiletries. Saya seringnya sih kasih cash aja untuk mereka beli sabun dan lain-lain, dengan catatan: tetap harus mandi dan pake deodoran. Yang ini wajib, karena saya ngga mau rumah petak saya dipenuhi dengan semerbak bau ketiak! 

    Kenapa nggak saya beliin? Oh well, satu saya males ribet mikirin si mbak mau mandi pake sabun wangi apa, yang kedua, biarlah mereka mengatur keuangannya sendiri. Pokoknya semua semua sudah dijatah, jadi nggak ada lagi alasan "majikan saya pelit, beliin sabunnya yang 1000an!" pokoknya nggak ada.

    5. "Bu, itu mbaknya Bu XX gajinya sekian..."

    Nah, ini adalah kode alus yang berarti mbak ART minta kenaikan gaji. Biasanya, ART yang curhat seperti ini adalah yang sering 'nenangga' alias bersosialisasi.

    Ada satu mantan ART ibu saya yang merupakan 'sosialita lokal' di komplek. Sore hari selepas ashar, para ART di komplek akan berkumpul didepan rumah ibu saya sambil berbincang ini itu, dari gosip seputar majikan sampai gosip seputar gaji. Kenapa saya tahu? Karena saya sering nguping, udah gitu aja. 

    Nah, biasanya setelah ada pembicaraan soal si mbak A gajinya sekian, mbak B gajinya sekian, malemnya akan ada yang curhat ke ibu saya. Nggak jauh-jauh curhatannya, pasti seputar gaji. Makanya saya paham kenapa ada beberapa ibu-ibu yang nggak ngasih ART nya untuk nenangga karena potensi curhat seputar gaji ini.

    Biasanya sih, reaksi ibu saya ya seadanya, misalnya "ooh gitu" atau "oh iya jelas, si mbak A itu kan sudah ngikut ibu X selama 3 tahun, kalau kamu sudah ngikut ibu 3 tahun, gaji kamu ya lebih dong dari itu" yang biasanya akan diikuti oleh si mbak yang manggut-manggut, entah kenapa. 

    Kenapa bisa gitu? karena dirumah saya, kenaikan gaji dilakukan bertahap, dan dari awal sudah dijelaskan. Kalau misalnya dalam 3 bulan kerjaannya bagus, rapi, nanti akan naik gaji secara berkala. Fasilitas rumah terbuka untuk si mbak gunakan, misalnya TV dilantai bawah bebas mereka gunakan, di dapur pun ada kulkas dan lemari khusus untuk mereka. misalnya pun mereka mau makan indomie atau apa, silahkan saja ambil dari lemari keluarga. Makanan pun sama kok, jadi mereka makan apa yang kita makan, makanya kalau ART dirumah saya nggak mau belajar masak ya rugi sendiri, hahaha.

    Soal cuci baju pun, mereka juga boleh pake mesin cuci dirumah, jadi harusnya sih nggak ada alasan-alasan 'nyonyah kejam gaji saya nggak pernah dinaikin' lha yaaa. Tapi kan, ada memang rumah yang tidak bisa seperti itu karena alasan-alasan tertentu, ya kita harus bisa memberikan pengertian baik-baik sama si mbak, bahwa kondisi setiap rumah itu beda-beda. 



    Sekarang ini, saya sudah nggak lagi pake jasa ART. Selain udah nggak sanggup bayarnya, rumah saya sekarang luasnya cuma sepetak, jadi bisa lah yaaa dikerjain sendiri diwaktu senggang. Biasanya, saya sama suami gantian bersih-bersih rumah. 

    Well, apapun itu, yang terpenting dari hubungan antara ART dan majikan adalah saling pengertian dan saling memahami ya! Kalau hubungan kita dan ART tidak didasari dengan perasaan saling memahami, otomatis urusan kerjaan rumah nggak bisa maksimal dong? Hehehe.

    Semoga aja pengalaman ini bisa membantu para nyonya-nyonya muda diluar sana yang sedang berjibaku dengan dunia per-ART-an. Tetap semangat!



    . Selasa, 14 Februari 2017 .

    17 komentar

    1. Duh mba gemes pengen jambak ono yg ngerampok hahaha..amit2 jgn sampe pny yg kek gtu
      alhamdulilah ART-ku betah banget dirumah jamnya pulang ajah dy masih seneng dirumah :D saking aku baik hati dan tidak sombong *dilempar celengan bobo* :D

      BalasHapus
      Balasan
      1. alhamdulillah, disyukurilah mba ketika art betah dirumah... susah lho nyari ART yang betah itu hehehe

        Hapus
    2. wow keren pakai banget..... infonya benar-benar bermanfaat ya... memang terkadang pakai ART itu ada-ada aja, pernah ada kasus yang sampai sekarang tak terlupakan oleh kami hihihi.... salam kenal mbak, perdana rasanya berkunjung di blog ini dan saya suka banget

      BalasHapus
      Balasan
      1. terimakasih sudah main kesini mbak, jangan kapok ya! Salam kenal juga hehehe

        Hapus
    3. Dilema memang ya punya ART atau tidak..kita dari dulu nggak pernah punya mbak :) alasannya karena memang kita parno an...

      BalasHapus
      Balasan
      1. hahaha sekarang saya juga ngga punya ART, mbak dewi... salah satu alasannya pun karena privacy, maklum newlyweds (ngikik di pojokan) dan alasan lainnya karena nggak sanggup bayarnya, uangnya dialihkan ke cicilan cicilan yang lain hihihi

        Hapus
    4. Mba di rumahkuu nggak punya ktp tapi blio langka mbaa agiii, dia satu diantara yg lain. Jujurnya banget. Udah kayak sodara �� Happy banget kita..ya emang sih ada bbrp yg kurang2, tapi masih bisa ditolerir..
      Habis dari rumah mamah, si art ke rumahku...

      BalasHapus
      Balasan
      1. wah kalau ART yang jujurnya luar biasa, sebisa mungkin dikeep. jujur itu nomer satu, yang lain lain bisa lah diajarin pelan-pelan...

        Hapus
    5. Petjaaaah, macem2 banget ya ART itu huft

      BalasHapus
    6. Ya ampun, bnyk bgt dramanya...
      Kalau di saya ART2 pd kabur tanpa pamit, aneh...

      BalasHapus
      Balasan
      1. hahaha saya juga pernah kedatangan ART yang kaburnya ngga pamit. Sampe sekarang bingung kenapa dia ngga pamit, mungkin ngga enak juga sama keluarga kali ya. Ada malah yang ngga pamit tau tau kerja di tetangga.

        Hapus
    7. Drama ART ini emang never ending drama plus nggak abis-abis serinya. Dari zaman ibuku dulu ngelahirin adik trus punya ART sampai sekarang masih banyak temen yang juga mengalami drama dengan ART.

      BalasHapus
      Balasan
      1. emang! ya namanya orang emang macem-macem kan ya, beda-beda juga, demikianlah dengan ART ituh hahaha

        Hapus
    8. Mbaaa..masih beruntung yaa ngga jadi kemalingan. Duh..deg-degan bacanya.

      Saya alhamdulillah ga punya ART. Hehe.. Iya sih agak repot memang. Tapi urusan cucian kalo repot ya di laundry. Makanan kalo repot masak ya beli. Kalo beberes rumah si bisa sambil jaga anak yaa..

      Tapi dulu ibu saya punya ART. Kami betah sii.. Nah lucunya, dia kan juga jd ART di rumah pacar saya (halah..jaman SMP mbaa..pacaran sm tetangga, haha). Eh trus dia berhenti dong jd ART kami, pas saya putus sm pacar saya itu. Hahaha..lucu aneeettt.. :D

      Tapi pas saya kemudian menikah dan melahirkan anak pertama, dia kerja di rumah saya lagi. Hehehe..

      BalasHapus
    9. Hadehhh... saya ikutan nyesek bacanya, hahah... Yang selingkuh ma laki tetangga lah, drama perceraian belom kelar lah. Emang iya sih, mba. Selama masih bisa dijalani semampunya, mending nggak perlu ada ART aja.

      BalasHapus
    10. Saking banyaknya drama per art an ini, di blogku ada satu menu khusus bahas seputar cerita art, Agi, he3. Btw ada pengalaman ga mbak, kalo art sakit keras sampe opname itu yg nanggung biayanya nyonyanya atau keluarganya? Sharing yo Gi kalo ada. Salam kenal ya...

      BalasHapus

    popular posts

    IBX5B00F39DDBE69